cari yukkk....
Kamis, 12 September 2013
Tentang Amanah
Tentang amanah, sebuah topic yang terkadang membuat otak ini langsung terasa berat dan perut ini spontan penuh oleh udara yang tak menyenangkan suasana. Sering dan bahkan selalu, jika amanah yang kita terima itu tak kita respon dengan senyuman. Apabila memaknai hidup itu lebih bermakna maka memang amanah itu sebenarnya tak selalu sulit, karena kita belum yakin bahwa diri ini bisa. Apalagi amanah itu kerap kali datang disaat kemampuan masih setengah-tengah bahkan masih kosong tak berisi daya sedikitpun. Hal ini adalah sebuah tantangan, apakah dengan sebuah amanah itu kita bisa naik level sebagai manusia yang berkualitas atau malah kita menjadi insan yang berantakan karena dalam management amanah yang tak rapi. Semua tergantung kita dalam menyikapi setiap amanah yang datang. Lantaran setiap naik usia kita, amanah hidup itu tak malah turun, namun malah bertambah dan semakin bertambah di waktu yang tak terlampau lama. Siap-siaplah karena amanah itu akan selalu menunggu untuk dipeluk, amanah itu akan senantiasa menanti untuk direngkuh dengan kebahagiaan lewat kerja-kerja hidup kita yang mulia. Yakinkan bahwa saban amanah itu akan menjadikan kita hamba-Nya yang kian baik, semakin memiliki harga karena proses dalam menjalankan amanah demi amanah itu membentuk kita lebih berkarakter dan menjadikan kita lebih dewasa dalam menyikapi setiap masalah yang datang. Selama dalam koridor kebenaran, yakinlah Allah bersama kita. Meski dalam menjalan amanah itu berat dan terasa sulit.. yakinkan benar-benar dalam diri bahwa ‘Setiap kesulitan pasti ada Kemudahan’, seperti janji-Nya dalam Qur’an Surat Al Insyirah ayat 5 dan 6.
“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”
Minggu, 14 Oktober 2012
KARENA “SI ALIF TAK LAGI KECIL”
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”(QS. Ali-Imran: 14)…..
Itulah sepenggal ayat Allah yang ku dengar saat Mbak Retno mengisi mentoring pekan ini. Satu ayat ini menggambarkan bahwasanya ada beberapa hal yang menjadi kecintaan manusia pada beberapa hal di atas, salah satu yang menjadi ketertarikan perempuan adalah lelaki……
Secara tersirat, ayat itu ternyata menohok dadaku yang saat ini tengah dilanda virus paling berbahaya untuk didekati. Virus itu benar-benar mampu membuat yang dijangkiti tak tenang, mudah merasakan gundah, bermuka merah ketika terdengar satu nama yang melayang-layang di sela-sela neuron otaknya. Degup jantung begitu terasa seperti dikejar setan kala keadaan membawa perasaan ini bergejolak karena satu rasa yang tak mampu terdefinisikan dengan rapi.
“Virus merah jambu”. Virus itulah yang kini mengotori hatiku. Tak pernah ingin sama sekali untuk menjadi salah satu korbannya. Berusaha menolak dan menghindari saat gejala-gejala mulai terasa secara alami membawa tingkah pola ini. Berbagai benteng sudah diusahakan untuk tegap berdiri melawan serangan.
Dan semenjak dua bulan inilah perasaanku mulai menunjukkan sinyal-sinyal aneh ketika pendengaran ini tak sengaja menangkap namanya yang mengudara. Kemudian hati menjadi tak tenang, terkadang senang, khawatir, takut, ataupun jadi gugup karenanya. Ya Allah, bagaimana ini??..........
ワフユ
………. Jam dua siang tepat keberadaanku sudah di depan pintu rumah, perasaan girang benar-benar membuncah lantaran bisa mengeluarkan keadaan penat yang luar biasa menjerat tubuh ini. Namun, tiba-tiba suara telepon genggamku yang masih tersimpan di dalam tas ransel bersuara yang menandakan ada satu pesan singkat yang harus ku baca. Tangan ini akhirnya meraih dengan malasnya. Ku baca dengan santai sambil mengeja satu persatu huruf yang beradu dengan cantiknya hingga membentuk satu kalimat panjang. Ternyata, pesan ini berisi undangan syuro’ mendadak. Dalam niat, tak sedikitpun keinginan untuk datang. Sekali-kali ingin melayangkan izin tidak bisa datang, canda’an dalam hati menggoda untuk mengabadikan kemalasan ini mengalahkan semangat yang belum penuh untuk terwujud.
Lantas, tubuh kembali merebah di atas sofa ruang tamu seraya memakan camilan yang ada di atas meja. Tapi, perasaan ini ada yang mengganjal. Tanda tanya muncul begitu saja, “siapa yang mengundang ini?”. Ku lihat sms itu sekali lagi. Ternyata dari Alif. Nama ikhwan satu ini membuatku terdiam. Lantas Berpikir selintas, kemalasan ini tiba-tiba berbalik tiga ratus enam puluh derajat menjadi ingin hadir. Keinginan untuk datang spontan menyerbu otakku kemudian memaksa kesemua organ tubuh ini untuk menyegerakan bangkit dari keengganan untuk berangkat. Sejenak apa yang sebenarnya membuatku seperti ini? Kok tiba-tiba berubah semangat seperti ini hanya karena tahu kalau yang mengundang itu si Alif. Apakah perasaan salah ini yang mendasari semangat ini? Astaghfirullah…. Inilah niat yang keliru, niat yang tak menginginkan ridho-Nya, tapi inginkan ridho dari seseorang.
Ya Allah, apa yang sebetulnya terjadi pada ku. Perasaan ini tak boleh terus-terusan merajai jiwa ini.
Aku masih melamun memikirkan kesalahan yang sudah ku buat. Kesalahan lantaran telah membiarkan hati ini terkotori oleh tamu yang salah masuk kamar. Benar-benar fatal jika ini tak ku indahkan untuk segera dihempaskan dari dada ini. Istighfar berulang kali ku panjatkan untuk melebur dosa yang mungkin bertumpuk menjadi gunungan noda kehidupan yang membebani diri ini.
Akhirnya langkahku mengarahkan ke sebuah tempat untuk mengambil aliran air yang membasahi bagian-bagian tubuh dalam hal fardhu dan sunnahnya wudhu. Ku basuh dengan perlahan, merasakan sejuknya air yang dengan ramahnya membuat tubuh ini suci karenanya. Setelahnya, ku raih mushaf yang dari tadi tersimpan di tas ransel. Ku baca dan terus ku baca dengan mengahayati bagaimana luar biasanya efek yang ku tangkap saat bibir ini melafalkan surat cinta-Nya.
Paska tiga lembar terselesaikan, perasaan menjadi tenang adanya. Sebuah pencerahan ku peluk dengan hantaran ketenangan yang dialirkan al qur’an pada jiwa yang sudah terkotori oleh rasa ini. Beberapa kali istighfar kembali terucap membuat aliran air mata spontan membasahi kelopakku yang kian berat. Lama ku terdiam pada keadaan ini. Keadaan yang menghanyutkan seluruh kontak rasa yang mengharu layu. Tiba-tiba suara handphone memecahkan bangunan ketenangan yang sengaja ku buat tadi. Ternyata dari mbak Santi. Ku ambil hape yang tergletak di meja kamar. Ku tekan keypad yang akan memberi efek tersambunglah komunikasi jarak jauh.
“Halo. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”
“lagi dimana dek? Nggak ikut syuro’?”
“lagi di rumah mbak. Afwan izin nggak bisa ikut, lagi nggak enak badan….tut…………..tut………………” mendadak sambungan terputus di tengah bibir ini mengungkap.
Ku lihat layar hape sudah menunjukkan akhir dari komunikasi dua jaringan yang kali ini tak lagi baik. Ku letakkan benda canggih ini dan kemudian mata ini mengajak tubuhku untuk menyatu dengan kasur yang terasa sebagai surga dunia.
ワフユ
Bingkisan ini ku lihat ada di atas bangkuku. Ku lihat dengan seksama bentuknya. Terselip satu lembar kertas dengan tersusun rapi. “Apa’an ini?”. Akhirnya ku raih dan ku lihat-lihat dengan seksama. Ku buka tali yang menyatukan satu lembar kertas tadi dengan sebuah barang cantik yang terbungkus dalam kotak kecil. Ku buka bungkusan ini dan ku letakkan surat tadi di atas bangku.
Ternyata di dalam kardus kecil yang terbungkus rapi itu adalah sebuah gantungan kunci cantik dengan bentuk bulat yang bertuliskan kata-kata motivasi untuk terus berjuang dalam dunia dakwah. “Keren” ungkapku sambil merekahkan senyuman bahagia. Namun, terselip satu pertanyaan yang mengusik hatiku. Siapa yang memberi ini?? Lantas tanganku meraih satu lembar surat kecil itu. Ku baca dengan perlahan, sang pengirim yang masih samar identitasnya menuliskan :
Ku pandangi kata-kata terakhir yang tertulis di pojok kanan bawah pada selembar kertas tadi. Tertulis jelas dengan italic dan dihiasi tanda petik. Hal itu mengingatkanku pada sesuatu. Pada satu moment yang terjadi tiga tahun silam. Dan kondisinya hampir seperti demikian. “Si Alif Tidak Lagi Kecil”…..
Nama yang cukup familiar bagiku. Ya, Alif Pramudya Kusuma adalah pria yang bolak balik jadi pengisi hati ini tanpa permisi. Dia juga sempat menjadi duri yang menyakitkan benar. Teringat masa itu sungguh mengecewakan namun ada sedikit penuh kelucuan yang terkadang membuat bibir ini tersenyum. Saat SMP dulu, beliau menjabat di posisi Ketua OSIS yang bisa dibilang jadi artis sekolah. Dengan modal fisik dan intelektual yang punya nilai plus, banyak mata tertuju untuk memujinya. Dialah salah satu bukti kebesaran Allah Azza Wa Jalla dengan kelebihan-kelebihan yang Kak Alif punya. Subhanallah…
Dan yang membuat terkesan atas masa lalu itu adalah satu hal, “sempat memiliki hubungan khusus dengan seorang laki-laki yang saat ini menjadi salah satu ikhwan hebat pemenuh dakwah” dan sekarang beliau kembali menjadi pengusik hati. “Mengapa harus dia?”. Kita kembali pada satu sekolah yang sama, tapi itu tak bertahan lama karena beliau harus pergi lagi. Dan itu sama seperti SMP lalu, saat Kak Alif menyatakan cinta pada ku dan kemudian kita berpacaran, selang dua bulan dia harus pindah ke Makasar. Lantas, hubungan itu kandas. Kecewa, itu pasti. Cinta pertama yang tak terawat indah.
Namun, baru kali ini aku tersadar bahwa rasa kecewa itu berfaedah karena hubungan itu tak akan membawaku ke arah yang baik. Hubungan yang tak ada dalam agamaku harus terputus, takdir Allah yang sungguh membahagiakan. Sakit dulu, senang saat ini. Alhamdulillah….
Semenjak ini, kesadaranku membuka kenyataan bahwa kak Alif yang selama ini mengganggu ketenangan perasaan ini karena virus merah jambu yang bertamu tanpa izin itu ternyata cinta pertamaku dulu…. Dan memang dahulu, aku masih belum faham bagaimana Islam memandang sebuah pergaulan anak muda. Saat SMP, saat-saat dimana gejolak remaja dipertarungkan dan pencarian jati diri diperjuangkan demi identitas sebagai manusia yang bertambah tingkatan umur dan pengakuan di masyarakat.
Sekarang, Kak Alif kembali menjadi kumbang yang terus-terusan mengganggu perasaanku. Bukan dia yang salah, tapi perasaan ini yang salah. Ingat betull bagaimana gambaran suasana saat-saat beliau menyatakan cinta buta itu.
Singakatnya… ungkapan cinta diutarakan di depan kelas saat itu. Wajahku memerah, pertanyaan apakah mau jadi pacarnya menjadi pertanyaan menusuk dengan penuh keindahan. Bagaimana tidak, di tengah banyak kawanku yang jua sudah mempunyai pacar masing-masing, kini tinggal aku akan mewujudkannya. Dan jawaban iya ku persembahkan dengan anggukan ringan dariku seraya senyuman manis ku rekahkan dari bibirku yang masih terlihat samar lantaran wajahku tertunduk malu.
Hanya kita berdua saat itu, dan aku baru tahu saat di SMA ini semenjak Rohis menjadi pelabuhan hatiku bahwa kalau dua orang manusia berdua-dua’an berbeda jenis kelamin ini akan ada yang ketiganya, yakni syetan. Astaghfirullah… ternyata waktu itu diriku dan Kak Alif sedang dikuasai oleh syetan. Maksiat berhasil mengepung lingakaran hubungan kita.
Dan surat seperti yang saat ini ku pegang memiliki bentuk yang sama dengan surat keputusannya untuk mngakhiri jalinan ini kala itu. Kata-kata “SI Alif Tidak Lagi Kecil” tertulis di pojok kertas seperti satu lembar surat yang sekarang masih ada di pegangan. Momen memilukan pada waktu itu membuat jiwaku runtuh, namun momen hari ini….membuatku melan kholis. Entah apa yang saat ini kurasakan, kesedihan tiba-tiba membekukan tubuhku saat membaca tulisan di surat ini. Kak Alif harus pergi lagi. Si Alif tak lagi kecil itu akan meninggalkan semuanya di sini. Meninggalkan amanahnya, meninggalkan kenangannya, meninggalkan suka dukanya. Mungkinkah saat beliau membaca namaku, tak sengaja melihat wajahku, mendengar suaraku saat syuro’, beliau ingat pada seseorang. Akankah beliau masih ingat aku yang dulu jadi teman dekatnya. Akankah beliau tak terusik dengan keberadaanku. Atau, beliau lupa dengan cinta pertama itu. Astaghfirullah… mungkin dia lupa dan semoga tak ingat. Kalaupun ingat dan mengingat-ingat wajahku yang menurutnya tak asing, tak mungkin Kak Alif berbuat sesuatu yang tak pantas jika seorang ketua Rohis bertindak pada cinta pertamanya dulu. Diam dan menjaga hati, itulah pilihan terbaiknya.
Kak Alif, dulu kau menjadi spesial bagiku. Dan saat ini… kau tak boleh menjadi spesial sebelum ikatan suci memeluk kita berdua dalam indahnya pernikahan. Perasaan bodoh ini tak boleh terus-terusan memenjara, ini harus segera dimusnahkan. Benteng akan terbangun megah dan kokoh demi lenyapnya rasa percuma itu. Rasa itu akan indah dan bernilai ibadah jika kau resmi jadi suami pertama dan terakhir. Meski engkau cinta pertama ketika SMP, tapi aku tak tahu apakah kau menjadi cinta pertama yang suci untuk menyempurnakan separoh agamaku. Hanya Allah Yang Maha Tahu yang akan tahu siapa pun itu, Kak Alif atau yang lain. Entahlah……
Dan “Si Alif tak lagi kecil”….. kau tak boleh lama-lama ada di hati ini kalau belum sah bagiku. Secepatnya harus keluar dengan kebersihan hati yang terbangun karena indahnya iman pada-Nya.
ワフユ
Minggu, 29 Januari 2012
“Sebuah Keteladanan”: itu yang dibutuhkan pendidikan karakter
Bukan sebuah rahasia jika pendidikan Indonesia sering dikait-kaitkan dengan penanaman pendidikan karakter, baik dari tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi sekalipun. Memang keberadaannya sudah mengemuka. Terbukti, dalam rancangan pembelajaran pun sudah dimasuki bumbu-bumbu yang berbau pendidikan karakter. Dalam beberapa seminar pendidikan pun tak sedikit yang mengangkat tema yang tengah hits di kalangan pendidikan.
Tapi, apakah pendidikan karakter itu masih berbau teori dari sebuah program besar Pak menteri untuk kebaikan bangsa? Ataukah sudah berwujud nyata menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda kita agar lebih berkarakter dalam memainkan peran pelajar dalam pembangunan? Jika diteliti lebih detail bagaimana kondisi saat ini masyarakat bangsa kita, maka akan menemui banyak hambatan dalam merealisasikan program brilian itu. Yang ada hanyalah sebuah wacana tanpa aji yang jelas bagi sasaran yang diinginkan.
Program pendidikan karakter itu suatu ide yang sangat baik, semestinya juga harus baik dalam merancang konsep dan grand desaingnya agar berwujud subur di lahan hasilnya. Lantaran ciri kaum pelajar yang rata-rata masih remaja cenderung meniru, itulah khasnya. Mereka kerap meniru idola-idola dunia dengan berbagai dandanan unik hingga mengubah pula dandanan pemuda kita. Sungguh disayangkan jika program pendidikan karakter itu tidak dikaitkan dengan model idola teladan yang bisa dijadikan kiblat dalam mencontoh dan meniru bagaimana seharusnya memainkan peran karakter dalam program pak menteri itu.
Kembali pada pelajar yang menjadi tujuan utama pendidikan karakter. Saat ini, mereka tidak hanya butuh teori yang akan menambah beban pikiran mereka, tapi yang dibutuhkan sekarang ialah sebuah keteladanan itu. Seperti sebuah ilustrasi yang ada di lingkungan kantor, bahwa seorang bawahan tidak akan melakukan pekerjaan jika tak ada perintah dari atasan. Jika seorang pemimpin memberi perintah dan contoh selayak yang diharapkan, maka bawahan pun otomatis akan melakukan itu dengan usaha dan kapasitasnya masing-masing bawahan.
Sama halnya ketika program pendidikan karakter itu diterapkan, sosok teladan wajib ada sebagai model manusia yang bisa dicontoh siswa dalam mewujudkan pendidikan karakter dalam kesehariannya. Lantas pertanyaannya, siapakah yang cocok dijadikan teladan? dan apakah di Indonesia saat ini sudah ada sosok yang dimaksud?
Perlu diketahui bahwa bangsa ini punya banyak publik figur baik dari jajaran artis sampai kalangan pejabat pemerintahan. Satu diantara mereka bisa berpotensi menjadi teladan pendidikan berkarakter. Namun, ketika kembali melihat kondisi artis dan pejabat saat ini, sedikit yang mendapat sorotan kamera karena keteladanan mereka. Kebanyakan yang diekspose dari artis hanya kemewahan gaya hidup dan problematika yang sangat tak cocok dengan kaidah pendidikan karakter. Apalagi yang kerap muncul di berbagai media adalah berita tentang pejabat Indonesia yang sering tersandung kasus penggelapan uang dan saling suap antar elemen pejabat. Ataupun artis yang kerap ganti pasangan karena alasan yang tak masuk diakal. Yang ada hanya rasa tanda tanya besar melengkung di batin para pelajar, perangai mana yang pantas dicontoh dari mereka. Ironis sungguh.
Pemerintah khususnya depertemen pendidikan nasional seyogyanya memakai model teladan dalam program pendidikan karakter. Mencari sosok yang berpotensial dalam merealisasikan program yang terbilang baru bagi pendidikan Indonesia. Sosok-sosok itu semestinya mulai dimunculkan di kalangan pejabat yang lebih pantas lantaran merekalah kaum intelektual, kaum yang mengambil kebijakan untuk hajat hidup banyak orang.
Namun, melihat fenomena yang ada di jajaran pejabat negeri ini, bagaimanakah kabar keteladanan yang sampai saat ini sudah disumbangkan bagi pendidikan Indonesia? Mereka ramai-ramai dengan isu yang kerap mengotori wajah politik demokrasi bangsa ini, tidak lain dan tidak bukan adalah korupsi. Pendidikan karakter tidak hanya didengung-dengungkan sebagai program perbaikan karakter pelajar Indonesia, tapi apakah pejabat negeri ini sudah berkarakter sesuai tempatnya? Ini yang perlu dievaluasi oleh pendidikan kita. Jangan hanya dimainkan dalam lingkungan pendidikan berupa teori saja, tapi lebih efektif jika prakteknya dilengkapi dengan sosok-sosok teladan yang patut dijadikan contoh bagaimana sejatinya menerapkan pendidikan karakter.
Para pejabat negeri ini haruslah banyak bercermin. Anda semua adalah publik figur bangsa yang seharusnya memiliki karakter yang bisa dijadikan cerminan bagi para pelajar dalam mewujudkan pendidikan karakter yang sesungguhnya. Sekali lagi, para pelajar tak butuh teori saja dalam mengamalkan makna pendidikan karakter, namun mereka lebih butuh teladan yang langsung bisa dicontoh. Itu sebenarnya yang terpenting._w@fuyu_
Tapi, apakah pendidikan karakter itu masih berbau teori dari sebuah program besar Pak menteri untuk kebaikan bangsa? Ataukah sudah berwujud nyata menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda kita agar lebih berkarakter dalam memainkan peran pelajar dalam pembangunan? Jika diteliti lebih detail bagaimana kondisi saat ini masyarakat bangsa kita, maka akan menemui banyak hambatan dalam merealisasikan program brilian itu. Yang ada hanyalah sebuah wacana tanpa aji yang jelas bagi sasaran yang diinginkan.
Program pendidikan karakter itu suatu ide yang sangat baik, semestinya juga harus baik dalam merancang konsep dan grand desaingnya agar berwujud subur di lahan hasilnya. Lantaran ciri kaum pelajar yang rata-rata masih remaja cenderung meniru, itulah khasnya. Mereka kerap meniru idola-idola dunia dengan berbagai dandanan unik hingga mengubah pula dandanan pemuda kita. Sungguh disayangkan jika program pendidikan karakter itu tidak dikaitkan dengan model idola teladan yang bisa dijadikan kiblat dalam mencontoh dan meniru bagaimana seharusnya memainkan peran karakter dalam program pak menteri itu.
Kembali pada pelajar yang menjadi tujuan utama pendidikan karakter. Saat ini, mereka tidak hanya butuh teori yang akan menambah beban pikiran mereka, tapi yang dibutuhkan sekarang ialah sebuah keteladanan itu. Seperti sebuah ilustrasi yang ada di lingkungan kantor, bahwa seorang bawahan tidak akan melakukan pekerjaan jika tak ada perintah dari atasan. Jika seorang pemimpin memberi perintah dan contoh selayak yang diharapkan, maka bawahan pun otomatis akan melakukan itu dengan usaha dan kapasitasnya masing-masing bawahan.
Sama halnya ketika program pendidikan karakter itu diterapkan, sosok teladan wajib ada sebagai model manusia yang bisa dicontoh siswa dalam mewujudkan pendidikan karakter dalam kesehariannya. Lantas pertanyaannya, siapakah yang cocok dijadikan teladan? dan apakah di Indonesia saat ini sudah ada sosok yang dimaksud?
Perlu diketahui bahwa bangsa ini punya banyak publik figur baik dari jajaran artis sampai kalangan pejabat pemerintahan. Satu diantara mereka bisa berpotensi menjadi teladan pendidikan berkarakter. Namun, ketika kembali melihat kondisi artis dan pejabat saat ini, sedikit yang mendapat sorotan kamera karena keteladanan mereka. Kebanyakan yang diekspose dari artis hanya kemewahan gaya hidup dan problematika yang sangat tak cocok dengan kaidah pendidikan karakter. Apalagi yang kerap muncul di berbagai media adalah berita tentang pejabat Indonesia yang sering tersandung kasus penggelapan uang dan saling suap antar elemen pejabat. Ataupun artis yang kerap ganti pasangan karena alasan yang tak masuk diakal. Yang ada hanya rasa tanda tanya besar melengkung di batin para pelajar, perangai mana yang pantas dicontoh dari mereka. Ironis sungguh.
Pemerintah khususnya depertemen pendidikan nasional seyogyanya memakai model teladan dalam program pendidikan karakter. Mencari sosok yang berpotensial dalam merealisasikan program yang terbilang baru bagi pendidikan Indonesia. Sosok-sosok itu semestinya mulai dimunculkan di kalangan pejabat yang lebih pantas lantaran merekalah kaum intelektual, kaum yang mengambil kebijakan untuk hajat hidup banyak orang.
Namun, melihat fenomena yang ada di jajaran pejabat negeri ini, bagaimanakah kabar keteladanan yang sampai saat ini sudah disumbangkan bagi pendidikan Indonesia? Mereka ramai-ramai dengan isu yang kerap mengotori wajah politik demokrasi bangsa ini, tidak lain dan tidak bukan adalah korupsi. Pendidikan karakter tidak hanya didengung-dengungkan sebagai program perbaikan karakter pelajar Indonesia, tapi apakah pejabat negeri ini sudah berkarakter sesuai tempatnya? Ini yang perlu dievaluasi oleh pendidikan kita. Jangan hanya dimainkan dalam lingkungan pendidikan berupa teori saja, tapi lebih efektif jika prakteknya dilengkapi dengan sosok-sosok teladan yang patut dijadikan contoh bagaimana sejatinya menerapkan pendidikan karakter.
Para pejabat negeri ini haruslah banyak bercermin. Anda semua adalah publik figur bangsa yang seharusnya memiliki karakter yang bisa dijadikan cerminan bagi para pelajar dalam mewujudkan pendidikan karakter yang sesungguhnya. Sekali lagi, para pelajar tak butuh teori saja dalam mengamalkan makna pendidikan karakter, namun mereka lebih butuh teladan yang langsung bisa dicontoh. Itu sebenarnya yang terpenting._w@fuyu_
Selasa, 30 Agustus 2011
Semoga kembali "Fitri"
takbir berkumandang dari tiap-tiap menara masjid di seluruh pelosok dunia, mungkin tak hanya malam ini, malam kemaren pun demikian, lantaran perbedaan yang tak menjadi pembatas ukhuwah islamiyah umat muslim di bumi Allah ini. Subhanallah... semua bibir melantunkan kebesaran Allah Azza wa Jalla, semoga tidak hanya bibirnya yang bergetar, tapi hatinya pun ikut bergetar karena keimanan yang membuih. selepas sebulan kita diberikan bulan yang luar biasa dasyatnya. limpahan kesempatan pahala, rahmat, makbulnya sebuah do'a, maupun terbukanya peluang tobat yang bisa dilakukan siapa saja bagi hati-hati muslim yang dikehendaki-Nya. saat ini tibalah hari fitri.
pertanyaan pun muncul dalam diri ini. fitri itu apakah hanya sebuah ucapan tanpa makna yang jika dihembuskan seperti kapas yang beterbangan tanpa bobot yang membuatnya memiliki kualitas, ataukah benar-benar menjadi kenyataan bagi jiwa yang "fitri" karena telah menghapus dosanya ketika ramadhan dilengkapi dengan saling membuka pintu maaf waktu lebaran tiba?? entahlah,, hanya setiap person lah yang tahu bagaimana kondisi "fitri" itu disematkan didirinya, selain itu ALLAH Maha Mengetahui atas masing-masing diri hamba-Nya.
pada kesempatan ini, sang penulis blog juga menginginkan fitri itu sejatinya terpatri dalam hati dengan iman yang sungguh. Maaf lahir batin atas kesalahan yang pernah membekas dalam buku sejarah saya--Wafuyu.Say----:-))
pertanyaan pun muncul dalam diri ini. fitri itu apakah hanya sebuah ucapan tanpa makna yang jika dihembuskan seperti kapas yang beterbangan tanpa bobot yang membuatnya memiliki kualitas, ataukah benar-benar menjadi kenyataan bagi jiwa yang "fitri" karena telah menghapus dosanya ketika ramadhan dilengkapi dengan saling membuka pintu maaf waktu lebaran tiba?? entahlah,, hanya setiap person lah yang tahu bagaimana kondisi "fitri" itu disematkan didirinya, selain itu ALLAH Maha Mengetahui atas masing-masing diri hamba-Nya.
pada kesempatan ini, sang penulis blog juga menginginkan fitri itu sejatinya terpatri dalam hati dengan iman yang sungguh. Maaf lahir batin atas kesalahan yang pernah membekas dalam buku sejarah saya--Wafuyu.Say----:-))
Jumat, 06 Mei 2011
cerpen_DESEMBER
BISMILLAH….
15 desember 2010. 13.26, di mushala FIS UNESA
“Di sebuah persimpangan…"
Hujan di siang ini memang sudah reda. Tapi ajinya masih membuat keadaan di perempatan jalan tepat dimana aku sekarang berada, tengah macet total. Mobilku kaku terdiam tak mampu bergerak sedikitpun. Sungguh malang diriku.
Di sini, sesaat memori otakku membukakan satu peristiwa silam yang begitu menyakitkan. Benar-benar menyakitkan. Suasana di persimpangan seperti ini telah mengingatkanku pada runtuhnya pondasi kepecayaanku pada calon suami yang sudah sangat ku kenal. Hatiku tercabik-cabik bagaikan daging segar yang masih menjadi santapan harimau Sumatra di kebun binatang. Perih rasanya, sampai-sampai air mata yang susah untuk keluar dari mataku terpaksa menetes deras seperti banjir kiriman jakarta dari puncak bogor.
Singkat cerita, Kala itu aku sungguh semangat menemani adikku untuk membeli buku ke sebuah toko buku terbesar di Surabaya. Adik dengan lihainya menyetir mobil yang baru ayah beli. Adik memang masih baru belajar, tapi kehebatannya patut diacungi jempol. Dia cerdik dalam menyiasati kemacetan dengan mampu menyari-nyari celah jalan yang mudah untuk dimanfaatkan. Namun dalam benakku tetap saja bersemayam rasa takut yang luar biasa ketika adik sedikit kehilangan kendali saat menyalip mobil pickup hitam yang mengangkut beberapa bahan bangunan. Lantas, saat hujan rintik-rintik yang kemudian berlanjut dengan petir menyambar disertai angin yang cukup kencang membuat kita harus berhenti mendadak di depan sebuah minimarket yang logonya kental dengan gambar lebah. Sekitar lima menit berlalu, aku pun menggantikan untuk menyetir. Adik berdalih sudah lelah dan takut akan jalanan yang mulai licin. Akhirnya di tengah perjalanan, aku dan adik harus terhenti lagi lantaran macet yang melanda. Aku kebingungan. Adik hanya bisa memaksa untuk cepat-cepat sampai ke tempat tujuan.
Mobilku hanya bisa diam tak mampu bergerak sedikitpun. Mau ku arahkan ke kiri, terhalang oleh satu mobil kijang berwarna merah yang memiliki nasib yang sama dengan mobilku. Jika ke kanan, sebuah sepeda motor matik warna hijau terlihat di depan. Lantas, kekesalanku bertambah ketika lampu merah mulai merona. Ku diamkan tanganku sejenak. Ku lihat adik sebentar, dia sudah terlelap tidur. Nampak sekali raut kantuknya. Ku biarkan dia dengan memandangi kendaraan yang terdampar di depan dan di samping kanan kiri mobilku. Saat ku lirik sepintas mobil xenia berwarna silver yang kacanya sengaja dibuka oleh si pengendaranya, aku terenyak. Wajah si pengendara itu tak asing bagiku. Samar-samar ku tebak, lelaki itu seperti sosok yang satu bulan lagi akan menjadi teman hidupku. Ku tatap dalam-dalam, ternyata benar…dia Arman. Seorang ikhwan yang sudah mengikat hatiku. Pikirku tiba-tiba muncul sebuah tanda tanya yang besar. Dia mau kemana dengan mobil elok itu?. Tak lama, nampak seorang perempuan berkacamata di sampingnya. Ku mencoba mencari celah agar jelas menyelidiki apa yang sebetulnya terjadi pada calon suamiku itu. Ku melihatnya tanpa satu kedipan, ingin mengetahui sinya-sinyal aneh yang mungkin ku tangkap dari gerak-gerik keduanya. Mereka lama ku perhatikan, tapi tak dapat sedikitpun sinyal-sinyal yang ku maksud. Hanya ku lihat Arman mengasihkan handphone ke perempuan itu dengan sikap yang biasa. Terlihat biasa, tapi aku semakin penasaran. Siapa sebenarnya perempuan cantik itu?.
Setelah kejadian aneh itu, Arman tak lagi menanyakan perkembangan persiapan pernikahan kita. Telepon genggamku hanya diam tak sekalipun terdengar suara tanda pesan darinya. Jiwaku sunyi jika keadaan terus seperti ini. Peristiwa tak lazim di persimpangan jalan kala itu begitu membuat aku terus berpikir dan bertanya-tanya, siapa sebenarnya perempuan cantik yang ada di dalam mobil bersama Arman? Benakku menggaungkan berjuta kemungkinan terburuk yang tak ku inginkan. Rasa cemburu tiba-tiba memenuhi otakku yang berlanjut pada hatiku yang kian sempit dari rasa ikhlas atas apa yang akan terjadi nanti.
Dua hari selepas itu, ayah nampak marah sesaat setelah menerima telpon dari seseorang. Aku mendengar suara ayah yang keras dari balik pintu kamar. Satu sms langsung mendarat di nomerku.
kak, kluar sana!!!
Ayah marah2 gr2
dpt telpn dr bang Arman.
aku terperanjat membaca sms itu. Tak banyak basa-basi, aku pun langsung keluar kamar dan menemui ayah. “Ayah, ada apa ?” suaraku pelan lantaran masih dihinggapi gemetar yang luar biasa. “APA KAU SUDAH MATANG-MATANG MEMUTUSKAN INGIN MENIKAH DENGAN LELAKI TAK BERTANGGUNG JAWAB ITU. HAH !!!!” teriak ayah sangat keras hingga membuat mataku meneteskan air mata. Hatiku sudah bisa membaca pikiran ayah.
“Maksud ayah apa?”
“Benar-benar kurang ajar anak itu.......” gerutu ayah sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Ayah, apa yang sebenarnya terjadi?”
Kulihat pula Ibu semakin terisak dengan tangisannya. Aku tambah yakin dengan perkiraanku tentang pernikahan ini yang kemungkinan akan…gagal !
“Tiba-tiba Arman telpon Ayah. Dan dia dengan mudahnya membatalkan pernikahan denganmu.”
Wajahku terpaku mendengar ucapan ayah. Serasa tersambar petir aku waktu itu. Terkejut bukan main. Bibirku termangu tak mampu mengutarakan apapun. Otakku penuh dengan isakan kesedihan. Dan hatiku, berteriak tak karuan. Aku benci dengan keadaan seperti ini. Arman telah merusak sebentuk kebahagiaan yang sudah terlanjur tebangun di istana jiwaku dan jiwa keluargaku. Dia pun telah menghancurkan rencana indah keluargaku tentang pernikahan ini, pernikahan yang sejatinya sebagai bentuk ibadah. Aku hanya diam seribu bahasa dan aliran air mata ini sekedar menjadi pelampiasan pedih yang sudah tergambar jelas di tiap lekuk wajahku. Ku lihat ayah langsung pergi setelah itu. Dan Ibu, beliau juga sepertiku. Naluri seorang perempuan memang terlukis seperti ini, hanya bisa menangis dan menangis.
Astaghfrullah, aku sampai tak sadar kalau lampu hijau sudah menyala cukup lama, pantas saja klakson mobil belakang berkali-kali terdengar memekakkan telingaku. Akhirnya, mobil yang ku kendarai saat ini melaju juga meski tubuhku masih kaku.
Di persimpangan itu, telah membuka kembali luka lamaku yang masih belum kering. Udara keikhlasan masih terlalu sibuk untuk menyejukkan hatiku. Dia masih berpaling dari beningnya suara nurani. Jujur, aku memang masih terluka. Kerap suasana macet di persimpangan Kota Surabaya membuat luka itu kembali menganga dengan perihnya yang hebat. Seperti teriris belati yang tajam. Tempat yang selalu ku hindari karena ku benci adalah persimpangan jalan dengan macet yang membuatku harus terdiam dan lagi-lagi harus teringat momen pahit itu. Apalagi dengan ditambah rintikan hujan yang besar. Wah….entah bagaimana jadinya sebentuk hatiku yang mulai rapuh itu.
Alhamdulillah ….
Gresik… 22 Januari 2011. 11.36
15 desember 2010. 13.26, di mushala FIS UNESA
“Di sebuah persimpangan…"
Hujan di siang ini memang sudah reda. Tapi ajinya masih membuat keadaan di perempatan jalan tepat dimana aku sekarang berada, tengah macet total. Mobilku kaku terdiam tak mampu bergerak sedikitpun. Sungguh malang diriku.
Di sini, sesaat memori otakku membukakan satu peristiwa silam yang begitu menyakitkan. Benar-benar menyakitkan. Suasana di persimpangan seperti ini telah mengingatkanku pada runtuhnya pondasi kepecayaanku pada calon suami yang sudah sangat ku kenal. Hatiku tercabik-cabik bagaikan daging segar yang masih menjadi santapan harimau Sumatra di kebun binatang. Perih rasanya, sampai-sampai air mata yang susah untuk keluar dari mataku terpaksa menetes deras seperti banjir kiriman jakarta dari puncak bogor.
Singkat cerita, Kala itu aku sungguh semangat menemani adikku untuk membeli buku ke sebuah toko buku terbesar di Surabaya. Adik dengan lihainya menyetir mobil yang baru ayah beli. Adik memang masih baru belajar, tapi kehebatannya patut diacungi jempol. Dia cerdik dalam menyiasati kemacetan dengan mampu menyari-nyari celah jalan yang mudah untuk dimanfaatkan. Namun dalam benakku tetap saja bersemayam rasa takut yang luar biasa ketika adik sedikit kehilangan kendali saat menyalip mobil pickup hitam yang mengangkut beberapa bahan bangunan. Lantas, saat hujan rintik-rintik yang kemudian berlanjut dengan petir menyambar disertai angin yang cukup kencang membuat kita harus berhenti mendadak di depan sebuah minimarket yang logonya kental dengan gambar lebah. Sekitar lima menit berlalu, aku pun menggantikan untuk menyetir. Adik berdalih sudah lelah dan takut akan jalanan yang mulai licin. Akhirnya di tengah perjalanan, aku dan adik harus terhenti lagi lantaran macet yang melanda. Aku kebingungan. Adik hanya bisa memaksa untuk cepat-cepat sampai ke tempat tujuan.
Mobilku hanya bisa diam tak mampu bergerak sedikitpun. Mau ku arahkan ke kiri, terhalang oleh satu mobil kijang berwarna merah yang memiliki nasib yang sama dengan mobilku. Jika ke kanan, sebuah sepeda motor matik warna hijau terlihat di depan. Lantas, kekesalanku bertambah ketika lampu merah mulai merona. Ku diamkan tanganku sejenak. Ku lihat adik sebentar, dia sudah terlelap tidur. Nampak sekali raut kantuknya. Ku biarkan dia dengan memandangi kendaraan yang terdampar di depan dan di samping kanan kiri mobilku. Saat ku lirik sepintas mobil xenia berwarna silver yang kacanya sengaja dibuka oleh si pengendaranya, aku terenyak. Wajah si pengendara itu tak asing bagiku. Samar-samar ku tebak, lelaki itu seperti sosok yang satu bulan lagi akan menjadi teman hidupku. Ku tatap dalam-dalam, ternyata benar…dia Arman. Seorang ikhwan yang sudah mengikat hatiku. Pikirku tiba-tiba muncul sebuah tanda tanya yang besar. Dia mau kemana dengan mobil elok itu?. Tak lama, nampak seorang perempuan berkacamata di sampingnya. Ku mencoba mencari celah agar jelas menyelidiki apa yang sebetulnya terjadi pada calon suamiku itu. Ku melihatnya tanpa satu kedipan, ingin mengetahui sinya-sinyal aneh yang mungkin ku tangkap dari gerak-gerik keduanya. Mereka lama ku perhatikan, tapi tak dapat sedikitpun sinyal-sinyal yang ku maksud. Hanya ku lihat Arman mengasihkan handphone ke perempuan itu dengan sikap yang biasa. Terlihat biasa, tapi aku semakin penasaran. Siapa sebenarnya perempuan cantik itu?.
Setelah kejadian aneh itu, Arman tak lagi menanyakan perkembangan persiapan pernikahan kita. Telepon genggamku hanya diam tak sekalipun terdengar suara tanda pesan darinya. Jiwaku sunyi jika keadaan terus seperti ini. Peristiwa tak lazim di persimpangan jalan kala itu begitu membuat aku terus berpikir dan bertanya-tanya, siapa sebenarnya perempuan cantik yang ada di dalam mobil bersama Arman? Benakku menggaungkan berjuta kemungkinan terburuk yang tak ku inginkan. Rasa cemburu tiba-tiba memenuhi otakku yang berlanjut pada hatiku yang kian sempit dari rasa ikhlas atas apa yang akan terjadi nanti.
Dua hari selepas itu, ayah nampak marah sesaat setelah menerima telpon dari seseorang. Aku mendengar suara ayah yang keras dari balik pintu kamar. Satu sms langsung mendarat di nomerku.
kak, kluar sana!!!
Ayah marah2 gr2
dpt telpn dr bang Arman.
aku terperanjat membaca sms itu. Tak banyak basa-basi, aku pun langsung keluar kamar dan menemui ayah. “Ayah, ada apa ?” suaraku pelan lantaran masih dihinggapi gemetar yang luar biasa. “APA KAU SUDAH MATANG-MATANG MEMUTUSKAN INGIN MENIKAH DENGAN LELAKI TAK BERTANGGUNG JAWAB ITU. HAH !!!!” teriak ayah sangat keras hingga membuat mataku meneteskan air mata. Hatiku sudah bisa membaca pikiran ayah.
“Maksud ayah apa?”
“Benar-benar kurang ajar anak itu.......” gerutu ayah sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Ayah, apa yang sebenarnya terjadi?”
Kulihat pula Ibu semakin terisak dengan tangisannya. Aku tambah yakin dengan perkiraanku tentang pernikahan ini yang kemungkinan akan…gagal !
“Tiba-tiba Arman telpon Ayah. Dan dia dengan mudahnya membatalkan pernikahan denganmu.”
Wajahku terpaku mendengar ucapan ayah. Serasa tersambar petir aku waktu itu. Terkejut bukan main. Bibirku termangu tak mampu mengutarakan apapun. Otakku penuh dengan isakan kesedihan. Dan hatiku, berteriak tak karuan. Aku benci dengan keadaan seperti ini. Arman telah merusak sebentuk kebahagiaan yang sudah terlanjur tebangun di istana jiwaku dan jiwa keluargaku. Dia pun telah menghancurkan rencana indah keluargaku tentang pernikahan ini, pernikahan yang sejatinya sebagai bentuk ibadah. Aku hanya diam seribu bahasa dan aliran air mata ini sekedar menjadi pelampiasan pedih yang sudah tergambar jelas di tiap lekuk wajahku. Ku lihat ayah langsung pergi setelah itu. Dan Ibu, beliau juga sepertiku. Naluri seorang perempuan memang terlukis seperti ini, hanya bisa menangis dan menangis.
Astaghfrullah, aku sampai tak sadar kalau lampu hijau sudah menyala cukup lama, pantas saja klakson mobil belakang berkali-kali terdengar memekakkan telingaku. Akhirnya, mobil yang ku kendarai saat ini melaju juga meski tubuhku masih kaku.
Di persimpangan itu, telah membuka kembali luka lamaku yang masih belum kering. Udara keikhlasan masih terlalu sibuk untuk menyejukkan hatiku. Dia masih berpaling dari beningnya suara nurani. Jujur, aku memang masih terluka. Kerap suasana macet di persimpangan Kota Surabaya membuat luka itu kembali menganga dengan perihnya yang hebat. Seperti teriris belati yang tajam. Tempat yang selalu ku hindari karena ku benci adalah persimpangan jalan dengan macet yang membuatku harus terdiam dan lagi-lagi harus teringat momen pahit itu. Apalagi dengan ditambah rintikan hujan yang besar. Wah….entah bagaimana jadinya sebentuk hatiku yang mulai rapuh itu.
Alhamdulillah ….
Gresik… 22 Januari 2011. 11.36
cerpen_NOVEMBER
15 nov 2010
Bismillah…
Di Sebuah Senja....
Anugrah yang terindah…
Yang kini ku anggap…
Satu mulai semua hidup yang baru……
Tepuk tangan pun terdengar menggema di aula pertemuan salah satu SMA swasta elit di kota Bandung setelah lagu terakhir berkumandang dari grup nasyid “fathir Voice”. Hampir semua wajah anggota nasyid tersebut memerah malu-malu. Lantas, sebuah suara berat membawa kelima punggawa dakwah di SMA Negeri 2 Bandung itu kembali ke tempat duduk di bagian belakang.
Setelah mereka duduk, lima kotak makan siang tiba-tiba menghampiri, muka Sigit nampak semangat isyarat perutnya sedari tadi berdendang ria ingin dijamah oleh sesuap makanan sekali pun.
“Mangga(1)… dimakan nasinya…!!!” ujar salah seorang panitia ikhwan dengan senyum mengembang ketika menyuguhkan beberapa kotak nasi dan bingkisan.
“Ooohh…hatur nuhun(2) ya akhi..” balas Sigit dengan riangnya.
“sama-sama…”
Mereka pun tak perlu banyak basa-basi untuk menyantap rezeki di siang bolong seperti ini. Apalagi Sigit, lekuk senyumnya semakin lebar ketika yang terlihat di kubangan kotak nasi berwarna putih ialah ayam panggang. Selang beberapa detik, handphone Erfan bergetar hingga suaranya terdengar beberapa rekan di sebelahnya. Erfan pun mengambil benda kecil itu di tas ranselnya. Tulisan “abi” di layar HP-nya spontan membuat perasaanya tumbuh sejuta akar pertanyaan.
“ Hallo Assalamualaikum…”
“ Wa alaikum salam. Erfan, bisa pulang agak cepat ?”
“ Ada apa yah ?”
“ Sudahlah, lakukan apa yang ayah suruh. Ayah mohon…tut…tut…tut….”
Tak lama suara ayah di seberang sana menghilang. Pesan urgent tadi malah membuatnya semakin terjerat pada zona aman untuk terus menebak. Tapi untuk kali ini Erfan tak sekali pun bernafsu main tebak-tebakan.
Akhirnya, ia pun meminta izin kepada keempat temannya yang masih asyik menikmati makanan. “ Lho Fan, ini nasinya nggak kamu bawa aja pulang ?”
‘ nggak, kamu kasihkan bang Dadang aja… atau… ke pak Ruri!!! ah, tafadhol kalian aja deh. Afwan, ane nggak ikut rapat, ada pesan urgent dari ayah….!! Assalamualaikum…”
“ Wa alaikum salam..” balas mereka serentak sambil melihat langkah Erfan yang tergopoh-gopoh.
“ Kenapa tuch Erfan, kayaknya ada kepentingan mendadak”
“ Husnudzon aja, siapa tahu dia dibelikan ayahnya rumah baru “ celetuk Araz menimpali prasangka Reza.
“ Amin Ya Robb…” koor terdengar pelan dari mulut ketiga pemuda(Araz, Reza, dan Furqan) yang masih basah oleh air minum terkecuali Sigit. Ia tengah sibuk dengan tulang belulang yang masih tebal terbalut daging ayam. Bibirnya memerah karena sambalnya terlalu pedas untuk ukuran dia.
***
Erfan deg-deg’an ketika kakinya memasuki rumahnya. Tak nampak siapa pun, hanya suara TV yang terdengar menggema membuatnya ingin mengambil posisi duduk di depan TV yang keberadaanya ada di ruang tengah. Namun, langkahnya terhenti kala suara lembut menyapanya. Jabat tangan pun ia ulurkan khusus untuk wanita sholehah di depannya.
“ Lagi nunggu ayah ya..?”
“ Iya Bu. Beliaunya sudah pulang”
“ Sudah, tapi masih sholat.. tunggu aja di depan TV “
Perasaan Erfan kian tak mampu menahan untuk menyimpan segudang tanya ini. Ia pun tak ingin berlarut-larut terjebak dalam keadaan seperti ini. Suara TV yang membahana ia manfaatkan untuk melepas perasaan aneh itu. Tak berselang lama saat konsentrasinya memusat ke layar monitor televisi, tubuh ayahnya tiba-tiba mendekati dirinya.
Suaranya yang besar membuatnya nampak gemetar. Entah apa yang terjadi kali ini. Ia juga merasa tak mengerti.
Tanpa berceloteh ngalor-ngidul, perkataan ayahnya to the point. Kalimat terakhir yang diucapkan benar-benar membuatnya tak berkutik. Erfan terdiam seraya menunduk sedih.
“……..ya…kita harus pindah ke Jakarta...”
Lantas, kedua pasang anak dan bapak itu terpenjara dalam keheningan siang, meski suara salah bersatu program berita di TV tetap berkoar. Akhirnya pertanyaan pria paruh baya itu memecah suasana sunyi itu, “Tidak apa-apa kan nak, kita pindah?”
Erfan hanya termangu bingung. Ia tak berdaya untuk menolak keputusan ayahnya yang ada kaitannya dengan masa depannya nanti. Anggukan pelan terpaksa ia lakukan walau berat rasanya hati ini mengorganisir kepala untuk mengiyakan itu. “Berat sungguh....”rintihan batinnya. Beberapa menit setelah itu, kakinya ia gerakkan untuk meninggalkan ruangan yang tiba-tiba senyap dan menggerahkan jiwa.
Pria berkacamata itu hanya bisa memandangi Erfan yang spontan pergi dengan memperlihatkan wajah melan kholisnya. Beliau sebenarnya tak tega jika harus mengorbankan keluarganya berbondong-bondong pindah demi pekerjaan yang bersemayam di pundaknya.
Di dalam kamar, Erfan terjerembab dalam lamunan. Konflik batin membuat wajahnya kusut. Selain itu, kepalanya pun mulai terasa pening, meski hal seperti ini hampir tak pernah melandanya. Langit-langit kamar entah kenapa menari-nari sendiri di depan pelupuk matanya. Pandangannya kabur dan tubuhnya spontan terjatuh ke tempat tidurnya. Erfan masih sadar, walaupun badannya tak berdaya untuk bangkit. Pikirnya tetap memusat pada perkataan ayahnya yang hampir membuatnya pinsan. Ia pun tak mengerti entah mengapa hal demikian menjadikan kondisi jiwanya yang semakin tak terkendali. Otaknya tiba-tiba memutar rekaman singkat hasil analisanya tentang fakta yang kemungkinan terjadi jika ia sekeluarga jadi pindah ke Jakarta dan meninggalkan seluruh kenangan yang tergores di kota parahyangan Bandung. Mungkin, teman-teman satu kelasnya akan sering bertanya, “Kenapa pindah Fan?, nggak rugi ninggalin kita-kita?? Kan SMA tinggal setahun doank Fan?....”
Atau mungkin, rekan-rekan seperjuangan di Rohis terkejut harus kehilangan salah satu punggawa dakwahnya. Dan mungkin, dirinya akan menangisi sisa-sisa kenangan selama perjalanannya menjadi orang terpenting di tim nasyid andalan Rohis SMAN 2 Bandung, Fathir Voice pun mungkin harus mencari sosok yang akan menggantikannya, mungkin....
Kepalanya tambah pusing. Tubuhnya gemetar, tak mampu menahan gejolak hatinya yang membuat otaknya terpaksa memikirkan hal-hal yang kian amburadul jika dihiraukan.
Ini mungkin terlihat terlalu berlebihan, atau mungkin nampak dramatis, toh hanya pindah ke kota metropolitan seperti Jakarta. Tidak separah dengan kehilangan sebuah nyawa manusia. Namun, di balik wajahnya yang tegar tersembunyi naluri yang lemah ketika menghadapi hal sepele seperti ini, harus siap memiliki lingkungan baru yang mungkin bisa ia ikuti atau bahkan tidak sama sekali. Entahlah...
Setelah perang batin yang menggoyahkan ketahanan tubuhnya, matanya tak sanggup menahan kokohnya kelopak yang sedikit basah oleh air rindu pada beberapa teman-teman SMA-nya sesama aktivis dakwah. Ia benar-benar begitu lemah.
Sekitar satu jam Erfan tertidur pulas bersama seragam batik birunya. Ia tak menyadari sama sekali. Dengan tubuh yang masih lunglai dan mata yang tetap memerah, ia bangkit dan melangkah ke kamar mandi untuk membasahi beberapa bagian tubuhnya sesuai rukun syah wudlu. Dengan hentak kaki yang pelan, dari kejauhan pandangan ibunya terus merekam bagaimana lekuk bibir Erfan yang nampaknya sukar untuk melengkung. Beliau membiarkan anak muda itu diam beberapa jam hari ini. Esoknya, baru ia dekati dengan segudang kata-kata bijak yang siap untuk ditancapkan di hati anandanya yang sangat ia dambakan. Dan keputusan pindah rumah tetap goal meski Erfan terlihat tak setuju.
***
Di sekolah, Erfan terlihat tenang. Matanya yang merah sudah nampak pudar. Terdengar namanya mengudara di salah satu lorong sekolahnya tepat berada di lantai dasar.
“Fan, ini file contoh proposal acara mabit tahun lalu. Mungkin setelah ini kamu bisa mengkopinya. Di folder organisasi, buka saja...kemudian ada file proposal mabit, nah itu?” ujar perempuan salah satu teman Rohisnya yang baru-baru ini memakai kerudung lebar sambil menyerahkan flashdisk berwarna hitam.
“oh ya...sukron” tanggapnya dengan arah pandangan ke bawah.
Perempuan tadi pun pergi sesudah membalas ucapan terima kasihnya. Di posisi yang sama, Erfan kembali terdiam. Dia baru saja ingat satu lagi amanah di kegiatan Rohis yang akan diadakan satu bulan ke depan. Jabatan sekretaris telah menumpu di pundak kurusnya. Lantas, bagaimana kelanjutan kinerjananya jika dalam satu minggu ini, ia dan sekeluarga akan menyiapkan segala hal yang berurusan dengan kepindahannya ke Jakarta ?.
“Gawat...ini gimana jadinya ?” ucapnya sembari menampakkan wajah gelisah.
Tak lama, Araz dan Reza datang mengagetkan Erfan yang berdiri terpaku sedari tadi dengan memegang sebuah benda kecil berisi data-data penting milik teman akhwatnya tadi.
Suara keras memanggil nama Erfan tak ayal membuat beberapa siswa di sekitar tempat itu melihat dengan sorot mata aneh.
“kamu kok ngelamun Fan, lagi mikiran apa aja sih ?”
“Belum ngerjain tugas Fisika ?”timpal Araz menyambung guyonan Reza.
“oh...nggak. Aku, aku...”
“Kamu kenapa to Fan?” celetuk Reza melihat Erfan yang agak aneh pagi ini.
Nampak lama Erfan diam dengan menatap pohon-pohon mangga di depannya. Dan kedua ikhwan itu hanya bisa melihat lelaki kurus di depannya dengan paras bertanyaa-tanya.
Lantas, dengan suara tak setegas biasanya, Erfan berkata sesuatu yang membuat Araz dan Reza penasaran.
***
Ketika suasana langit sudah menampakkan senjanya yang begitu indah dan sinar matahari yang mulai meredup akan waktu petang yang telah menantinya. Hampir seluruh murid SMAN 2 Bandung keluar dari kelas masing-masing setelah suara bel pertanda pelajaran hari ini sudah rampung, begitu halnya dengan Araz dan Reza. Kedua pemuda yang sama-sama berjenggot tipis itu telah nangkring dengan santainya di kantin yang sedari tadi menunggu Erfan untuk mengatakan sesuatu. Hal-hal lucu sudah memenuhi pikiran keduanya, Araz dengan asyik bermain dengan alam khayalnya yang berupa perkiraan bahwa dirinya dengan Reza akan dapat traktiran spesial entah itu di kantin ini atau di suatu rumah makan yang wah....??? entahlah. Pikir Araz dengan gaya nyengirnya. Lain hal yang terjadi di dunia imajenasi Reza, malah dalam otaknya sudah terbangun menara dugaan yang sulit untuk dipercaya, “Mungkin...si Erfan akan berkata jujur kalau dirinya sudah berniat mengkhitbah(3) adiknya... “. Hanya sebatas itu hatinya berucap, kemudian tiba-tiba muncul kembali ingatannya perihal guyonan Erfan saat memuji keelokan wajah adiknya beberapa bulan yang lalu ketika Erfan berkunjung ke kediamannya. Tapi itu hal yang tak mungkin untuk keadaan seperti ini. Cengengesan hanya terlukis dari lekuk bibir Reza.
Tak berselang lama, Erfan datang bersamaan dengan Sigit dan Furqon. Kemudian kelimanya duduk melingkar menghadap satu meja berwarna putih yang disitu terdapat satu botol caos dan kecap, satu mangkuk kecil yang penuh dengan sambel serta satu wadah tempat tusuk gigi.
“Mak jah!!! Enam bakso dan enam es teh ya...”teriak Erfan saat dirinya tiba di kerumunan siswa yang terkenal sebagai punggawa nasyid SMA N 2 Bandung itu.
“Tuh kan, bener apa yang ku duga. Kita semua ditraktir...”seloroh Araz membuat semuanya tertawa dengan lepas. Namun, Erfan hanya tersenyum melihat semua wajah kelima sahabatnya yang cerah dengan suara tawa yang renyah. Hatinya merasa tak mampu membayangkan bagaimana raut muka saban lelaki yang ada di hadapannya ketika sesaat ucapan perpisahan keluar dari mulutnya. Pasti air muka mereka akan berubah drastis. Hingga dia sengaja membawa dirinya tertawa sepuas-puasnya sampai kubangan bakso di mangkoknya habis dan hanya menyisakan dua alat distribusi makanan ke lubang mulut, alias sendok dan garbu. Begitu juga halnya yang terungkap dari lima orang hanif itu. Dan kini tinggal nasib es teh yang tak semua berhasil terteguk ke seluruh tenggorokan laskar fathir voice.
Setelah cukup lama Erfan berusaha menahan sesuatu yang akan diutarakannya siang ini, akhirnya untaian kata bernuansa sedih itu terucap juga. ”Oiya....ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepada kalian semua”, tiba-tiba semua mata tertuju pada Erfan dan serentak suara teredam dengan perkataannya.
“Besok, hari minggu...aku beserta keluargaku akan pindah ke Jakarta”
Spontan wajah Sigit, Araz, Reza, dan Furqan tertegun. Mata mereka tak berkedip sama sekali. Tubuh mereka pun nampak kaku.
“Pindah ke Jakarta Fan?”celetuk Furqan terkejut.
“Emmm...iya...!!! mungkin ini kabar buruk yang sebetulnya aku juga tak berharap demikian. Ini keputusan yang sangat sulit untuk aku terima. Sulit sekali. Kalian tahu... yang membuat berat untuk pindah, adalah kalian. Berat untuk meninggalkan kalian.”
Tiba-tiba Erfan terdiam, lantas tertunduk. Air mata Araz tak dinyana keluar juga. Dia langsung memeluk Erfan yang kebetulan duduk di sampingnya. Sigit hanya menatap Erfan yang keberadaannya agak jauh dengannya. Wajah Furqan hanya memelas kemudian telapak tangannya menepuk pundak Erfan yang saat itu mencoba untuk tegar. Sementara itu, Reza menahan tangisnya dengan membasuhkan kedua telapak tangannya ke mukanya. Sungguh terasa sakit dari apa yang dirasakan keenam remaja alim itu.
Araz benar-benar cengeng kala itu. Ia tak mampu menghentikan genangan air mata yang terus-terusan memenuhi kelopak matanya. Ia sungguh lemah sejak ucapan Erfan sengaja terucap.
Semuanya terdiam. Hanya suara parau sambil memanggil-manggil nama Erfan terdengar dari bibir Araz. Nampak hanya dia yang teramat sangat kehilangan. Namun semuanya sama-sama kehilangan Erfan yang juga banyak andil dalam dakwah di SMAN 2 dan keberhasilan tim nasyid Fathir Voice yang saat ini masih tetap eksis di wilayah Bandung. Nama grup nasyid Fathir kian mengudara karena loyalitas Erfan juga dan rekan-rekan lainnya. “ Ini benar-benar sulit untuk dimengerti.” Desah batin seorang Araz. Ia memang cukup dekat dengan Erfan, pantas saja ia sangat terpukul dengan berita ini.
Erfan menjadi merasa bersalah akan ucapan yang baru mereka dengar dari mulutnya. Entah kesalahan dari cara menyampaikannya atau isi perkataannya yang susah untuk dipahami kenyataannya.
Senja ini, kelima punggawa fathir voice harus ikhlas melepaskan suara Erfan sebagai vokal utama di saat-saat mereka menjajal kemampuan di depan umum atau pada sesi latihan. Senja yang kelam bagi mereka. Pemandangan langit Senja yang awalnya terlihat cerah dan begitu menarik mata setiap sosok yang memperhatikannya, tiba-tiba tergantikan dengan suasana menakutkan bagi mata yang memandangnya. Senja yang menjadi detik-detik terakhir mereka memandang wajah Erfan. Wajah teduh yang dilengkapi dengan pesona satu lesung pipi kecil jika senyum ia kembangkan. Berat sangat dirasakan kelima lelaki itu. Mungkin hanya air mata hati yang bisa tertetes dari pelupuk jiwa mereka terdalam, dan bukan air dari mata yang tertahan di kelopak mata teguh mereka. Hanya Araz yang tak sanggup menahan kokohnya pertahanan kesedihan itu. Kesedihan akan kehilangan sesosok sahabat terdekat mereka. Sahabat di saat perjuangan dakwah tengah gencar-gencarnya diluncurkan, sahabat di saat suara emas mereka sedang menjadi idola kawula muda pejuang rohis di seluruh sudut kota mode Bandung.
Keteguhan yang nampaknya dibutuhkan oleh semuanya. Keteguhan Erfan untuk rela dan tanpa beban lagi meninggalkan semua kenangan di sekolah yang telah membesarkannya. Keteguhan lima ikhwan tadi yang harus ikhlas melepaskan Erfan untuk berani mengepakkan rona dan warna hidupnya di Jakarta, sekalipun itu kota besar yang tak sedikit tersembunyi terjal akan perjuangan hidup panjang di usia mudanya. Senja ini, perasaan ikhlas yang mau tak mau harus keenam pemuda hanif itu sejukkan dan redamkan di kalbu mereka masing-masing.
Di senja ini...sungguh raib akan kebahagiaan dan berat sungguh untuk menuturkan pada dunia.
25 nov.2010
Alhamdulillah...
Bismillah…
Di Sebuah Senja....
Anugrah yang terindah…
Yang kini ku anggap…
Satu mulai semua hidup yang baru……
Tepuk tangan pun terdengar menggema di aula pertemuan salah satu SMA swasta elit di kota Bandung setelah lagu terakhir berkumandang dari grup nasyid “fathir Voice”. Hampir semua wajah anggota nasyid tersebut memerah malu-malu. Lantas, sebuah suara berat membawa kelima punggawa dakwah di SMA Negeri 2 Bandung itu kembali ke tempat duduk di bagian belakang.
Setelah mereka duduk, lima kotak makan siang tiba-tiba menghampiri, muka Sigit nampak semangat isyarat perutnya sedari tadi berdendang ria ingin dijamah oleh sesuap makanan sekali pun.
“Mangga(1)… dimakan nasinya…!!!” ujar salah seorang panitia ikhwan dengan senyum mengembang ketika menyuguhkan beberapa kotak nasi dan bingkisan.
“Ooohh…hatur nuhun(2) ya akhi..” balas Sigit dengan riangnya.
“sama-sama…”
Mereka pun tak perlu banyak basa-basi untuk menyantap rezeki di siang bolong seperti ini. Apalagi Sigit, lekuk senyumnya semakin lebar ketika yang terlihat di kubangan kotak nasi berwarna putih ialah ayam panggang. Selang beberapa detik, handphone Erfan bergetar hingga suaranya terdengar beberapa rekan di sebelahnya. Erfan pun mengambil benda kecil itu di tas ranselnya. Tulisan “abi” di layar HP-nya spontan membuat perasaanya tumbuh sejuta akar pertanyaan.
“ Hallo Assalamualaikum…”
“ Wa alaikum salam. Erfan, bisa pulang agak cepat ?”
“ Ada apa yah ?”
“ Sudahlah, lakukan apa yang ayah suruh. Ayah mohon…tut…tut…tut….”
Tak lama suara ayah di seberang sana menghilang. Pesan urgent tadi malah membuatnya semakin terjerat pada zona aman untuk terus menebak. Tapi untuk kali ini Erfan tak sekali pun bernafsu main tebak-tebakan.
Akhirnya, ia pun meminta izin kepada keempat temannya yang masih asyik menikmati makanan. “ Lho Fan, ini nasinya nggak kamu bawa aja pulang ?”
‘ nggak, kamu kasihkan bang Dadang aja… atau… ke pak Ruri!!! ah, tafadhol kalian aja deh. Afwan, ane nggak ikut rapat, ada pesan urgent dari ayah….!! Assalamualaikum…”
“ Wa alaikum salam..” balas mereka serentak sambil melihat langkah Erfan yang tergopoh-gopoh.
“ Kenapa tuch Erfan, kayaknya ada kepentingan mendadak”
“ Husnudzon aja, siapa tahu dia dibelikan ayahnya rumah baru “ celetuk Araz menimpali prasangka Reza.
“ Amin Ya Robb…” koor terdengar pelan dari mulut ketiga pemuda(Araz, Reza, dan Furqan) yang masih basah oleh air minum terkecuali Sigit. Ia tengah sibuk dengan tulang belulang yang masih tebal terbalut daging ayam. Bibirnya memerah karena sambalnya terlalu pedas untuk ukuran dia.
***
Erfan deg-deg’an ketika kakinya memasuki rumahnya. Tak nampak siapa pun, hanya suara TV yang terdengar menggema membuatnya ingin mengambil posisi duduk di depan TV yang keberadaanya ada di ruang tengah. Namun, langkahnya terhenti kala suara lembut menyapanya. Jabat tangan pun ia ulurkan khusus untuk wanita sholehah di depannya.
“ Lagi nunggu ayah ya..?”
“ Iya Bu. Beliaunya sudah pulang”
“ Sudah, tapi masih sholat.. tunggu aja di depan TV “
Perasaan Erfan kian tak mampu menahan untuk menyimpan segudang tanya ini. Ia pun tak ingin berlarut-larut terjebak dalam keadaan seperti ini. Suara TV yang membahana ia manfaatkan untuk melepas perasaan aneh itu. Tak berselang lama saat konsentrasinya memusat ke layar monitor televisi, tubuh ayahnya tiba-tiba mendekati dirinya.
Suaranya yang besar membuatnya nampak gemetar. Entah apa yang terjadi kali ini. Ia juga merasa tak mengerti.
Tanpa berceloteh ngalor-ngidul, perkataan ayahnya to the point. Kalimat terakhir yang diucapkan benar-benar membuatnya tak berkutik. Erfan terdiam seraya menunduk sedih.
“……..ya…kita harus pindah ke Jakarta...”
Lantas, kedua pasang anak dan bapak itu terpenjara dalam keheningan siang, meski suara salah bersatu program berita di TV tetap berkoar. Akhirnya pertanyaan pria paruh baya itu memecah suasana sunyi itu, “Tidak apa-apa kan nak, kita pindah?”
Erfan hanya termangu bingung. Ia tak berdaya untuk menolak keputusan ayahnya yang ada kaitannya dengan masa depannya nanti. Anggukan pelan terpaksa ia lakukan walau berat rasanya hati ini mengorganisir kepala untuk mengiyakan itu. “Berat sungguh....”rintihan batinnya. Beberapa menit setelah itu, kakinya ia gerakkan untuk meninggalkan ruangan yang tiba-tiba senyap dan menggerahkan jiwa.
Pria berkacamata itu hanya bisa memandangi Erfan yang spontan pergi dengan memperlihatkan wajah melan kholisnya. Beliau sebenarnya tak tega jika harus mengorbankan keluarganya berbondong-bondong pindah demi pekerjaan yang bersemayam di pundaknya.
Di dalam kamar, Erfan terjerembab dalam lamunan. Konflik batin membuat wajahnya kusut. Selain itu, kepalanya pun mulai terasa pening, meski hal seperti ini hampir tak pernah melandanya. Langit-langit kamar entah kenapa menari-nari sendiri di depan pelupuk matanya. Pandangannya kabur dan tubuhnya spontan terjatuh ke tempat tidurnya. Erfan masih sadar, walaupun badannya tak berdaya untuk bangkit. Pikirnya tetap memusat pada perkataan ayahnya yang hampir membuatnya pinsan. Ia pun tak mengerti entah mengapa hal demikian menjadikan kondisi jiwanya yang semakin tak terkendali. Otaknya tiba-tiba memutar rekaman singkat hasil analisanya tentang fakta yang kemungkinan terjadi jika ia sekeluarga jadi pindah ke Jakarta dan meninggalkan seluruh kenangan yang tergores di kota parahyangan Bandung. Mungkin, teman-teman satu kelasnya akan sering bertanya, “Kenapa pindah Fan?, nggak rugi ninggalin kita-kita?? Kan SMA tinggal setahun doank Fan?....”
Atau mungkin, rekan-rekan seperjuangan di Rohis terkejut harus kehilangan salah satu punggawa dakwahnya. Dan mungkin, dirinya akan menangisi sisa-sisa kenangan selama perjalanannya menjadi orang terpenting di tim nasyid andalan Rohis SMAN 2 Bandung, Fathir Voice pun mungkin harus mencari sosok yang akan menggantikannya, mungkin....
Kepalanya tambah pusing. Tubuhnya gemetar, tak mampu menahan gejolak hatinya yang membuat otaknya terpaksa memikirkan hal-hal yang kian amburadul jika dihiraukan.
Ini mungkin terlihat terlalu berlebihan, atau mungkin nampak dramatis, toh hanya pindah ke kota metropolitan seperti Jakarta. Tidak separah dengan kehilangan sebuah nyawa manusia. Namun, di balik wajahnya yang tegar tersembunyi naluri yang lemah ketika menghadapi hal sepele seperti ini, harus siap memiliki lingkungan baru yang mungkin bisa ia ikuti atau bahkan tidak sama sekali. Entahlah...
Setelah perang batin yang menggoyahkan ketahanan tubuhnya, matanya tak sanggup menahan kokohnya kelopak yang sedikit basah oleh air rindu pada beberapa teman-teman SMA-nya sesama aktivis dakwah. Ia benar-benar begitu lemah.
Sekitar satu jam Erfan tertidur pulas bersama seragam batik birunya. Ia tak menyadari sama sekali. Dengan tubuh yang masih lunglai dan mata yang tetap memerah, ia bangkit dan melangkah ke kamar mandi untuk membasahi beberapa bagian tubuhnya sesuai rukun syah wudlu. Dengan hentak kaki yang pelan, dari kejauhan pandangan ibunya terus merekam bagaimana lekuk bibir Erfan yang nampaknya sukar untuk melengkung. Beliau membiarkan anak muda itu diam beberapa jam hari ini. Esoknya, baru ia dekati dengan segudang kata-kata bijak yang siap untuk ditancapkan di hati anandanya yang sangat ia dambakan. Dan keputusan pindah rumah tetap goal meski Erfan terlihat tak setuju.
***
Di sekolah, Erfan terlihat tenang. Matanya yang merah sudah nampak pudar. Terdengar namanya mengudara di salah satu lorong sekolahnya tepat berada di lantai dasar.
“Fan, ini file contoh proposal acara mabit tahun lalu. Mungkin setelah ini kamu bisa mengkopinya. Di folder organisasi, buka saja...kemudian ada file proposal mabit, nah itu?” ujar perempuan salah satu teman Rohisnya yang baru-baru ini memakai kerudung lebar sambil menyerahkan flashdisk berwarna hitam.
“oh ya...sukron” tanggapnya dengan arah pandangan ke bawah.
Perempuan tadi pun pergi sesudah membalas ucapan terima kasihnya. Di posisi yang sama, Erfan kembali terdiam. Dia baru saja ingat satu lagi amanah di kegiatan Rohis yang akan diadakan satu bulan ke depan. Jabatan sekretaris telah menumpu di pundak kurusnya. Lantas, bagaimana kelanjutan kinerjananya jika dalam satu minggu ini, ia dan sekeluarga akan menyiapkan segala hal yang berurusan dengan kepindahannya ke Jakarta ?.
“Gawat...ini gimana jadinya ?” ucapnya sembari menampakkan wajah gelisah.
Tak lama, Araz dan Reza datang mengagetkan Erfan yang berdiri terpaku sedari tadi dengan memegang sebuah benda kecil berisi data-data penting milik teman akhwatnya tadi.
Suara keras memanggil nama Erfan tak ayal membuat beberapa siswa di sekitar tempat itu melihat dengan sorot mata aneh.
“kamu kok ngelamun Fan, lagi mikiran apa aja sih ?”
“Belum ngerjain tugas Fisika ?”timpal Araz menyambung guyonan Reza.
“oh...nggak. Aku, aku...”
“Kamu kenapa to Fan?” celetuk Reza melihat Erfan yang agak aneh pagi ini.
Nampak lama Erfan diam dengan menatap pohon-pohon mangga di depannya. Dan kedua ikhwan itu hanya bisa melihat lelaki kurus di depannya dengan paras bertanyaa-tanya.
Lantas, dengan suara tak setegas biasanya, Erfan berkata sesuatu yang membuat Araz dan Reza penasaran.
***
Ketika suasana langit sudah menampakkan senjanya yang begitu indah dan sinar matahari yang mulai meredup akan waktu petang yang telah menantinya. Hampir seluruh murid SMAN 2 Bandung keluar dari kelas masing-masing setelah suara bel pertanda pelajaran hari ini sudah rampung, begitu halnya dengan Araz dan Reza. Kedua pemuda yang sama-sama berjenggot tipis itu telah nangkring dengan santainya di kantin yang sedari tadi menunggu Erfan untuk mengatakan sesuatu. Hal-hal lucu sudah memenuhi pikiran keduanya, Araz dengan asyik bermain dengan alam khayalnya yang berupa perkiraan bahwa dirinya dengan Reza akan dapat traktiran spesial entah itu di kantin ini atau di suatu rumah makan yang wah....??? entahlah. Pikir Araz dengan gaya nyengirnya. Lain hal yang terjadi di dunia imajenasi Reza, malah dalam otaknya sudah terbangun menara dugaan yang sulit untuk dipercaya, “Mungkin...si Erfan akan berkata jujur kalau dirinya sudah berniat mengkhitbah(3) adiknya... “. Hanya sebatas itu hatinya berucap, kemudian tiba-tiba muncul kembali ingatannya perihal guyonan Erfan saat memuji keelokan wajah adiknya beberapa bulan yang lalu ketika Erfan berkunjung ke kediamannya. Tapi itu hal yang tak mungkin untuk keadaan seperti ini. Cengengesan hanya terlukis dari lekuk bibir Reza.
Tak berselang lama, Erfan datang bersamaan dengan Sigit dan Furqon. Kemudian kelimanya duduk melingkar menghadap satu meja berwarna putih yang disitu terdapat satu botol caos dan kecap, satu mangkuk kecil yang penuh dengan sambel serta satu wadah tempat tusuk gigi.
“Mak jah!!! Enam bakso dan enam es teh ya...”teriak Erfan saat dirinya tiba di kerumunan siswa yang terkenal sebagai punggawa nasyid SMA N 2 Bandung itu.
“Tuh kan, bener apa yang ku duga. Kita semua ditraktir...”seloroh Araz membuat semuanya tertawa dengan lepas. Namun, Erfan hanya tersenyum melihat semua wajah kelima sahabatnya yang cerah dengan suara tawa yang renyah. Hatinya merasa tak mampu membayangkan bagaimana raut muka saban lelaki yang ada di hadapannya ketika sesaat ucapan perpisahan keluar dari mulutnya. Pasti air muka mereka akan berubah drastis. Hingga dia sengaja membawa dirinya tertawa sepuas-puasnya sampai kubangan bakso di mangkoknya habis dan hanya menyisakan dua alat distribusi makanan ke lubang mulut, alias sendok dan garbu. Begitu juga halnya yang terungkap dari lima orang hanif itu. Dan kini tinggal nasib es teh yang tak semua berhasil terteguk ke seluruh tenggorokan laskar fathir voice.
Setelah cukup lama Erfan berusaha menahan sesuatu yang akan diutarakannya siang ini, akhirnya untaian kata bernuansa sedih itu terucap juga. ”Oiya....ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepada kalian semua”, tiba-tiba semua mata tertuju pada Erfan dan serentak suara teredam dengan perkataannya.
“Besok, hari minggu...aku beserta keluargaku akan pindah ke Jakarta”
Spontan wajah Sigit, Araz, Reza, dan Furqan tertegun. Mata mereka tak berkedip sama sekali. Tubuh mereka pun nampak kaku.
“Pindah ke Jakarta Fan?”celetuk Furqan terkejut.
“Emmm...iya...!!! mungkin ini kabar buruk yang sebetulnya aku juga tak berharap demikian. Ini keputusan yang sangat sulit untuk aku terima. Sulit sekali. Kalian tahu... yang membuat berat untuk pindah, adalah kalian. Berat untuk meninggalkan kalian.”
Tiba-tiba Erfan terdiam, lantas tertunduk. Air mata Araz tak dinyana keluar juga. Dia langsung memeluk Erfan yang kebetulan duduk di sampingnya. Sigit hanya menatap Erfan yang keberadaannya agak jauh dengannya. Wajah Furqan hanya memelas kemudian telapak tangannya menepuk pundak Erfan yang saat itu mencoba untuk tegar. Sementara itu, Reza menahan tangisnya dengan membasuhkan kedua telapak tangannya ke mukanya. Sungguh terasa sakit dari apa yang dirasakan keenam remaja alim itu.
Araz benar-benar cengeng kala itu. Ia tak mampu menghentikan genangan air mata yang terus-terusan memenuhi kelopak matanya. Ia sungguh lemah sejak ucapan Erfan sengaja terucap.
Semuanya terdiam. Hanya suara parau sambil memanggil-manggil nama Erfan terdengar dari bibir Araz. Nampak hanya dia yang teramat sangat kehilangan. Namun semuanya sama-sama kehilangan Erfan yang juga banyak andil dalam dakwah di SMAN 2 dan keberhasilan tim nasyid Fathir Voice yang saat ini masih tetap eksis di wilayah Bandung. Nama grup nasyid Fathir kian mengudara karena loyalitas Erfan juga dan rekan-rekan lainnya. “ Ini benar-benar sulit untuk dimengerti.” Desah batin seorang Araz. Ia memang cukup dekat dengan Erfan, pantas saja ia sangat terpukul dengan berita ini.
Erfan menjadi merasa bersalah akan ucapan yang baru mereka dengar dari mulutnya. Entah kesalahan dari cara menyampaikannya atau isi perkataannya yang susah untuk dipahami kenyataannya.
Senja ini, kelima punggawa fathir voice harus ikhlas melepaskan suara Erfan sebagai vokal utama di saat-saat mereka menjajal kemampuan di depan umum atau pada sesi latihan. Senja yang kelam bagi mereka. Pemandangan langit Senja yang awalnya terlihat cerah dan begitu menarik mata setiap sosok yang memperhatikannya, tiba-tiba tergantikan dengan suasana menakutkan bagi mata yang memandangnya. Senja yang menjadi detik-detik terakhir mereka memandang wajah Erfan. Wajah teduh yang dilengkapi dengan pesona satu lesung pipi kecil jika senyum ia kembangkan. Berat sangat dirasakan kelima lelaki itu. Mungkin hanya air mata hati yang bisa tertetes dari pelupuk jiwa mereka terdalam, dan bukan air dari mata yang tertahan di kelopak mata teguh mereka. Hanya Araz yang tak sanggup menahan kokohnya pertahanan kesedihan itu. Kesedihan akan kehilangan sesosok sahabat terdekat mereka. Sahabat di saat perjuangan dakwah tengah gencar-gencarnya diluncurkan, sahabat di saat suara emas mereka sedang menjadi idola kawula muda pejuang rohis di seluruh sudut kota mode Bandung.
Keteguhan yang nampaknya dibutuhkan oleh semuanya. Keteguhan Erfan untuk rela dan tanpa beban lagi meninggalkan semua kenangan di sekolah yang telah membesarkannya. Keteguhan lima ikhwan tadi yang harus ikhlas melepaskan Erfan untuk berani mengepakkan rona dan warna hidupnya di Jakarta, sekalipun itu kota besar yang tak sedikit tersembunyi terjal akan perjuangan hidup panjang di usia mudanya. Senja ini, perasaan ikhlas yang mau tak mau harus keenam pemuda hanif itu sejukkan dan redamkan di kalbu mereka masing-masing.
Di senja ini...sungguh raib akan kebahagiaan dan berat sungguh untuk menuturkan pada dunia.
25 nov.2010
Alhamdulillah...
Langganan:
Postingan (Atom)