cari yukkk....

Sabtu, 13 Maret 2010

Aku ingat luar biasanya Ibu



Aku masih ingat. Dulu, ibu selalu memarahiku jika hujan tiba, entah itu hujan lebat atau hanya hujan biasa, aku masih berkeliaran di luar rumah mencari kesenangan bersama temen-teman sebayaku. Ibu juga selalu marah jika aku selalu membangkang ketika ogah-ogahan potong rambut. Atau, ketika ibu menasehatiku dengan serius tapi tiba-tiba aku menyelanya tanpa sopan-santun, atau mungkin aku sering tidak percaya terhadap apa yang beliau bicarakan karena lebih percaya pada omongan orang lain dari topik yang sedang dibicarakan. Aku masih ingat betul bagaimana raut muka ibu ketika marah, wajahnya merah padam serta nada suara yang agak meninggi yang kerap terdengar hingga ke telinga tetangga. Aku memang sering melakukan kesalahan, kelalaian ataupun kebodohan yang membuatku di mata Ibu sebagai anak yang biasa saja dan tidak sepertia apa yang beliau harapkan. Dulu, aku dan kakak selalu berada di bawah pantauannya di saat bapakku pergi merantau ke Surabaya demi memenuhi kebutuhan kami di desa. Ibu sekaligus berusaha menjadi bapak yang tanggung jawabnya lebih besar. Dengan keadaan rumahku yang banyak kekurangan di mana-mana, entah itu atap yang bocor ketika hujan atau seringnya sarang rayap muncul berturut-turut di sebelah tembok yang tepat berada di tepian lantai rumah kayuku. Aku sering iba melihat ibu yang dengan susah payahnya berkorban melindungi kita dari hujan lebat yang membuat atap rumahku seperti langit yang menumpahkan air di mana-mana, di setiap sudut runah. Karena aku masih kecil, aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa melihat ibu yang lalu lalang bersama kakak mencari wadah yang mampu menampung air hujan agar tidak membanjiri rumahku yang kala itu masih berlantaikan tanah. Ironisnya, meski ibu dan kakak sudah berusaha menghalangi air hujan tadi, lantainya tetap saja basah, becek dan perasaan tidak nyaman mau tidak mau memenjara aku, kakak serta ibu dengan kondisi rumah yang seperti dataran banjir. Aku benar-benar tidak nyaman, sungguh tidak nyaman. Dan aku sangat percaya, bahwa ibu lebih tidak nyaman. Namun, kekuatan dan ketegaran yang penuh terlihat dari kedua mata ibu.
Dan aku masih menyimpan memori dalam otakku sebuah perjuangan ibu dahulu yang besar kepada kami. Misalnya saja, saat kakak menginjak bangku SMA,waktu itu kakak yang bersekolah di sebuah SMU Muhamadiyah di Kecamatan kami yang jaraknya jauh dari rumah. Dan di kala musim penghujan yang hujannya datang di sore hari, petaka datang tak diundang ke benak ibu. Ibu merasa was-was luar biasa ketika kakak tak kunjung pulang. Lantas dengan jiwa besarnya, ibupun tanpa pikir panjang dengan mengambil sepeda tetangga dan dikayuhnya untuk memastikan keberadaan kakak di maghrib yang lama-kelamaan kian gelap. Tak hanya sekali Ibu menemui keadaan seperti ini, bahkan hampir di tiap hari di waktu penghujan datang. Meski saat itu aku kecil dan masih sangatlah polos, tapi aku mampu membaca ketabahan yang tercermin dari tiap derap langkahnya mengambil keputusan.
Saat aku SD dulu. Aku pernah merasakan keharuan ketika berpisah sementara dengan ibu. Waktu itu aku diberi amanah oleh sekolah bersama teman-teman saya untuk mengikuti perkemahan selama tiga hari di sebuah desa yang cukup jauh dari desa kami, sehingga guru kami berpesan agar para orang tua tidak perlu susah-susah untuk menjenguk kami di bumi perkemahan itu. Aku pun spontan mendoktrin ibu agar tak usah melihatku. Namun, kenyataan berjalan lain, tiba-tiba di suatu siang kala perkemahan sudah menemui hariku, ibu berjalan mendatangi tenda kami dengan menjinjing satu bungkus makanan yang sebelumnya aku tidak tahu itu apa. Aku pun terkejut bukan kepalang saat aku menemui beliau. Yang kukatakan pertama saat beliau menatapku adalah kata-kata dengan nada marah-marah.
“Bu…, kenapa kesini??” Ibu hanya terdiam melihatku dengan sorot kerinduan di matanya.
“Ibu kangen Yu, sama kamu. Tadi malam ibu tidak bisa tidur.” Kata-katanya datar, namun entah mengapa aku jadi terharu sendiri.
“Aku kan sudah bilang sama ibu, ibu nggak usah jauh-jauh kesini. Tadi ibu dianterin siapa?”
“Dianterin cak Jainun. Ini ada jeruk makan sana sama teman-temanmu.”ujarnya sedari menyerahkan sebungkus jeruk kepadaku.
Beberapa menit kemudian, ibu diajak bicara oleh beberapa guruku. Tapi, tidak berselang lama, ibu jadi agak pendiam. Wajahnya melas melihat keadaan sekitar. Ku tatap matanya dalam-dalam, aku melihat sirat kesedihan yang terpancar tanpa kesadarannya.
“Ibu sekarang pulang saja.” Beliau pun memandangku dengan gurat keanehan.”Ya sudah, ibu pulang saja.”
Mata ibu spontan memerah, sepertinya ingin menangis. Tapi aku tak menampakkan tanda-tanda selayaknya beliau. Aku malah menggiringnya untuk pulang. Mungkin aku kejam saat itu. Hanya memberi kesempatan sekian menit untuk melepas kerinduannya padaku. Entah mengapa kala itu paradigmaku membentuk suatu pemikiran bahwa ibu tak boleh menjengukku. Ibu jangan datang ke bumi perkemahan itu. Dan paradigma sadis itu membuat hati ibu hancur berkeping-keping. Akhirnya, sesaat setelah itu,ibu pun pergi dengan tangisan hati yang mendalam. Bibir kecilku telah membawanya pada jeritan hati yang tak pernah beliau sangka sebelumnya, niatnya ingin menemuiku untuk melenyapkan rasa kangen yang membuncah padaku, ternyata berakhir dengan kepedihan yang melilit jantungnya. Maafkan aku ibu, aku telah menyakiti hatimu.
Saat ibu sudah pergi, aku pun kebelakang tenda untuk mencuci piring. Di situ, entah apa yang sedang terjadi dengan diriku. Tiba-tiba aku menangis, meneteskan air mata penyesalan yang luar biasa. Di tempat itu aku baru menyadari, kalau sosoknya sudah tak nampak lagi di depan kedua mataku. Aku benar-benar menyesal. Aku hanya bisa menjatuhkan tetesan penyesalan tentang kebodohan yang ku perbuat di depan ibuku sendiri, ibu yang sembilan bulan telah mengasihiku dalam susah payahnya, dalam peluh pengorbanannya serta dalam naungan rindu tulusnya yang tidak akan pernah bertepi hingga kapanpun.
Tapi, aku tetap menganggap ibu adalah ibu yang luar biasa. Kerja kerasnya tak akan luntur hingga tubuhnya masih kuat untuk menopang segala jenis amanah yang membebani pundaknya. Ketika memasuki masa-masa akhir di SD, bibir ibu sedikit bisa terangkat dan melengkung dengan manisnya wajah yang beliau persembahkan. Hal Ini berawal ketika kakak sudah dipinang oleh seorang laki-laki yang hampir tiga tahun menjadi wali kelasku saat SD dulu. Ya…,kakak menikah dengan guru SDku. Meski begitu, beban ibu masih saja menggelantung di pundaknya yang kerap menimbulkan air mata di setiap munajat malamnya. Pernikahan kakak yang seharusnya diliputi perasaan bahagia, ternyata membuat perasaan ibu kalang kabut. Ada suatu omong-omongan yang mengganjal di hati ibu dan itu sudah menyebar di masyarakat. Lantaran memikirkan hal itu, air mata beliau sering jatuh seraya gelisah yang memadati ruang hatinya. Namun sejalan dengan waktu tak mungkin kembali lagi, isu yang berkembang di masyarakat lama-kelamaan hilang dan beban ibu pun tak lagi terasa. Ibu senantiasa memohon pada-Nya tentang segala hal yang menjadi benalu dalam pikirnya, termasuk masalah tadi yang amat membuat tidur beliau berhari-hari tak nyenyak.
Dan, pengorbanan ibu tidak berhenti begitu saja. Ibu semakin terlihat perjuangannya ketika naluri bersekolahku sangat tinggi. Yang kulihat perjuangan ibu begitu besar adalah di waktu aku duduk di bangku SMA. Peluhnya terasa mengalir amat deras seiring do’a tulusnya untukku. Dengan penghasilan bapak yang pas-pasan, peran ibu pun menjadi dominan.
Ku ingat sungguh ketika ibu semangat menerima pekerjaan sebagai buruh tani di setiap hari-harinya, tapi ibu juga tidak melepas tanggung jawabnya merawat sawah yang merupakan warisan dari nenek dulu. Pekerjaan buruh tani yang mungkin dianggap remeh orang lain, ternyata malah berpotensi menjadi jembatan bagi beliau untuk menyekolahkanku. Gaji sepuluh ribu perak hanya beliau terima dalam setengah hari. Dan setengah hari itu, ibu harus bertarung dengan panas, keringat yang menggerahkan tubuh serta rasa penat yang kian menggangu ketika lelah mulai menempel di setiap persendian kaki dan tanganya. Di waktu malam pun tiba, sering ku dengar keluhan dari bibir tebalnya dan ku lihat guratan keletihan yang mengantongi raut tuanya. Juga tak jarang ku perhatikan di waktu senja menjemput berjuta bintang di langit malam, rasa pening akan beban hidup juga tergambar jelas dari gerak-gerik tubuhnya yang lemas.
Ku ingat betul kebiasaan ibu ketika bangun pagi-pagi mendahului kokokan ayam jantan bersahut-sahutan, ibu bangun bukan dengan kesejukan mata yang terpancar, melainkan dengan kepenatan agenda harian yang menuntutnya untuk terus produktif dan tegas dalam memahami waktu. Meski berat, tapi ibu tetap bersemangat. Lantas pagi pun mengajaknya untuk terus bergerak dan bergerak, tanggung jawab masak di setiap pagi-paginya memaksa beliau untuk tahan banting meski tubuhnya tengah memeluk keletihan, apalagi ketika saya dituntut mengikuti kegiatan yang mau tidak mau mengharuskan saya membawa bekal ke sekolah. Itu yang membuat beliau harus bangun sejak fajar masih terlalu dini untuk muncul. Segala macam bahan masakan yang sudah dipreparekan juga dengan lihai diolahnya. Meski peluh bercucuran, otot dan urat kencang dengan jelas terlihat hingga menunjukkan begitu besar pengorbanan beliau padaku. Setelah siap hidangan pagi, ibu pun tidak lantas berhenti begitu saja. Beliau memang sungguh luar biasa, sepetak sawah juga telah menunggunya di saban mentari merotasi hingga siang jua datang dengan lamban.
Ibu memang selalu memberikan yang terbaik untuk keluarga, termasuk juga aku. Aku masih ingat kala aku terpaksa pulang sampai menjelang maghrib. Dengan tubuh yang sangat lemah dan kepenatan yaang mulai menyempitkan semangat diri. Ibu datang dengan senyum seraya perintah lewat tuturnya yang hangat dari bibirnya. ”Yu...mandinya dengan air hangat ya...?”ternyata beliau sudah menyiapkan air hangat untuk aku mandi. Itu yamg membuat aku selalu tersenyum dengan satu pepatah, ”Kalau mandi di malam hari pakai air dingin, nanti kena rematik” ya...aku sedikit tersenyum dengan kata-kata ibu itu. Tapi di balik itu, ibu ingin memberikan perlindungan untuk aku maupun untuk semuanya.
Ibu memang sangat protektiv, karena sifat protektiv itulah ibu sangat memperhatikan dan menyayangi kami. Mungkin dengan naluri keibuannyalah, tindak tanduknya yang protektiv tadi muncul dengan sendirinya dalam bentuk respon di setiap kejadian yang terjadi di sekitar. Ya...terkadang respon itu terasa berlebihan padaku, sehingga memicu image”Anak mami”melekat erat padaku. Sebenarnya...agak risih sih, tapi lama-kelamaan aku menyadari kalau kata-kata itu benar-benar ku butuhkan seiring kecilnya kesempatan bersama beliau dan memandang wajahnya yang bersahaja. Mataku hanya bergelut dengan keseharian di sekolah yang terkadang menyita waktu. Tapi aku sangat bangga ketika diberi julukan ”Anak mama”, ketika aku membutuhkannya, ibu tanpa pamrih membantuku dengan tangan suciya. Contohnya saja ketika aku terjatuh sakit. Ibu tanpa segan langsung membawaku ke bidan untuk mengecek keadaanku. Dan disaat itulah peran ibu sangat ku butuhkan. Banyak petuah yang keluar dengan sendirinya demi kesehatanku yang tengah drop. Dan siapa lagi yang dengan tulus memberikan itu, hanya Ibulah yang bisa semuanya. Hanya Ibu dan hanya Ibu dengan kendali di bawah kekuasaan-Nya.
Selepas aku SMA, tidak hanya aku yang merasa kebingungan atas kemanakah arah aku selanjutnya setelah jenjang pendidikan 12 tahun ku tunaikan. Dalam hati kecilku selalu menyerukan ”Ingin kuliah...ingin kuliah...ingin kuliah...”. Bukannya aku terlalu berambisi, tapi dorongan niat yang kuat memacuku untuk segera menamatkanku sebagai seorang mahasiswa. Tapi dibalik itu semua, ada sesuatu yang mengganjal di hati ibu. Pertanyaan-pertanyaan sering muncul mendatangkan duri yang mengganggu hati ibu. Seperti satu pertanyaan mengharukan ini ”Apa aku punya tabungan untuk menguliahkan anakku ini?? Darimana nanti uang yang aku dapatkan jika anakku benar-benar kuliah. Darimana?? Aku tak punya bekal apa-apa untuk aku jual. Meski ada sawah, tak bisa dengan mudah mendatangkan uang di genggamanku” uraian perasaan ibu membuat hatiku sungguh iba. Satu momem di mana jiwa Ibu merasa perih ketika mendengar tanpa sengaja perbincangan dua orang Ibu wali murid ketika acara purnawisma (keluusan) berlangsung di sekolahku. Salah satu Ibu itu berkata ”Sampeyan sudah menyiapkan tabungan berapa untuk anak sampeyan kuliah??”, Ibu yang satunya menjawab ”Ya...kira-kira sepuluh jutaan...”. Spontan kata-kata tadi menyusup sendirinya ke hati Ibu. Pertanyaan kembali muncul, ”Lantas sudah berapa nominal yang sudah kupersiapkan untuk kuliah anakku”. Ya Allah, sugguh pertanyaan yang amat ironis di tengah-tengah krisis finansial yang melilit ekonomi keluarga kami meski kakak terkadag mumbuka tangan untuk membantu. Dan dengan kesungguhannya berdo’a, akhirnya aku diberikan kemudahan bisa diterima di sebuah negeri Universitas di Surabaya. Hingga saat ini, Ibu masih menjadi sososk yang begitu luar biasa. Dari aku tertidur pulas dalam gendongan perut buncitnya sampai sekarang aku bisa sedikit demi sedikit meraih bintang kehidupan yang cemerlang walau belum berwujud sebuah materi di hadapannya. Ibu, ku selalu ingat jamahan tangan darimu yang tanpa lelah, pengorbanan hati dan pikiran yang tak pernah kering serta nasehat-nasehat mutiara yang membangun semagat jiwa ini. Ibu, kau benar-benar luar biasa. Aku akan selalu ingat itu.

Tidak ada komentar: