cari yukkk....

Sabtu, 13 Maret 2010

London I’m Coming

London…London…
Ingin ku kesana…
London…London…
Sesaat lagu ini baru masuk ke gendang telingaku mengiringi otakku yang bekerja menekan bibirku agar lancar bicara ala-ala bule tulen yang biasa melancong ke Pulau Dewata Bali dengan sedikit menumpuk harapanku untuk berhasil besok. Yap…tinggal hitungan jam tubuhku bersiap mengepak jalan pikiranku guna bersahabat menancapkan angan-angan terpendam di langit-langit biru London.
Memang angan-angan itu teraneh selama aku hidup. Selama itupun aku tak kunjung sukses pergi melanglangbuana ke daratan Britania Raya. Aku masih ingat, dulu kala aku duduk di bangku sekolah strata SMP, Pak Ruyan pernah bercerita tentang London yang indah. Tentang megahnya pusat Inggris Raya yang penuh dengan tata kota yang menakjubkan mata.
Aku pun beranjak. Ku sunyikan suasana dan suara musik yang mendebur sudut kamarku. Lagu Hijrah ke London milik The Changcuters perlahan senyap menemani sunyinya malam ini. Mataku terpaksa masuk terbasahi oleh kelopak yang terasa berat seakan terpancung oleh beban seberat lima puluh kilogram. Lama-kelamaan tubuhku penuh pegal yang mendera. Entah berapa juta butir-butir persoalan yang masuk terpaksa ku pikirkan.
Akhirnya yang kulihat hanya hitam menggelayut bersama lembaran kantuk yang menghalus. Segala sesuatu yang mengunci dalam jendela otakku serasa hilang ditelan cepat oleh naluri kesunyian hati. Pelan-pelan malam demi malam diiringi oleh kumpulan embun sejuk mendatangkan pagi yang damai.
Ketika ku bangun dari ketenangan tempat tidur, serasa ku sangat kecewa. Rencana matang yang ku tulis dalam hati dan ku panjatkan sebelum tidur, harus pupus lantaran waktu yang menjeratku dalam kedinginan. Ku ingin bangun di tengah malam itu. Awal pagi atau sebelum subuh mataku siap mengucap harapan indah seraya membersihkan dosa dan melantunkan selaksa do’a dengan sholat bersimpuh pada-Nya. Aku tak sempat mencurahkan hatiku pada Rabb, Dzat yang benar-benar sempurna. Ku ingin Dia tahu lebih jauh tentang harapanku siang nanti, meski Dia lebih tahu soal seluk beluk hatiku dan pikiranku. Namun, semoga aku mampu menggenggam anugrah terindah dalam hidupku. Menggenggam mimpi yang tak sekedar mimpi, merenggut semangat yang tak hanya terbukti dalam bibir semata.
Lantas, penuh daya ku bangun dari kemalasan yang sempat terlintas dan secepatnya kupudarkan segalanya yang menghambat nyali diri ini. Ku segerakan menjamah air wudlu dan mengambilnya, kemudian shalat subuh di atas sajadah merah pemberian ayah di masa kecilku dulu. Akhirnya, ku bergegas menyiapkan satu stel baju rapi plus jilbab putih bercorak kupu-kupu yang baru dibelikan Ibu kala lebaran lalu. Menghias wajah walau tak perlukan sepotong lipgloss dan sebotol parfum impor dari luar negeri. Hanya bermodal bedak bubuk yang sering dipakai Ibu dan semprotan minyak wangi yang kubeli di sebuah toko tua milik Pak Ling di depan gang rumahku.
Sebelum ku melangkahkan kaki keluar rumah, ku membelokkan tujuan untuk shalat dhuha terlebih dahulu. Mengucap sejuta harapan yang melecutkan keyakinanku pagi ini, “Bismillah, ikhtiar ini akan di mulai..!!!” Suara hatiku membisik. Dengan segenggam harap turun dari naluri Ibu, ku sempatkan mencium punggung tangannya dan ku berjalan keluar dengan diawali panjatan do’a keluar rumah serta keinginan besar siang nanti. Langkahku serasa ringan terdorong keinginan setinggi langit dan sejauh mendaki Gunung Himalaya di India. Kususuri tepian gang rumahku menuju jalan raya yang telah menungguku hadir di sana seraya bercengkrama dengan suasana pagi yang masih menghangatkan mata.
Sesampainya, tak menyangka mikrolet yang sedikit lusuh akibat puluhan penumpang duduk berdesak-desakan sejenak berhenti di depanku. Kardus-kardus besar jua telah menumpuk di atap mikrolet tadi. Maksud hati ingin menolak, tapi supirnya malah tersenyum lebar padaku. Dengan berat hati, aku pun naik meski tak nyaman diri. Selama perjalanan melewati kesibukan kota, tubuhku seakan kaku akan posisiku yang entah bagaimana harus kugambarkan. Setelah perjalanan hampir satu jam, akhirnya ku tiba juga di tempat tes beasiswa yang membuka kesempatan untuk bersekolah ke Inggris yang jua amat ku harapkan.
Hawa panas yang menyelimuti dinding-dinding hati ternyata tak sejalan dengan hawa dinginnya di ruangan tes saat ini. Perasaan takut, gelisah dan tak tenang mendekat kala soal tes ada di genggaman. Melihat ujung kertas dari bagian atas sampai bawah, kosakata bahasa inggris terus nampak tak bercelah. Mataku kerap berkedip tak percaya. Do’apun refleks tercipta dari pusat otak dan terus teryakini dalam hati hingga terpanjatkan dari bibir yang penuh keinginan besar. Lantas, tanpa pikir panjang tanganku bergerak cepat setelah pikirku berputar tangkas menyelesaikan soal demi soal. Walau sukar bagiku, dengan susah payah ku gali semua potensi diri guna merampungkan soal-soal yang tak gampang dicerna pikiran.
Selesainya, akupun mengucap Alhamdulillah meski kesulitan acap datang tak diundang selama dua kali enam puluh menit berlangsung. Setelah itu, setelah satu setengah istirahat dan waktu menunggu yang telah amat menyebalkan bagiku, kini tes wawancara yang menjadi bagian penting dalam jadwal hari ini akhirnya tiba juga. Sesekali ku biarkan otakku bernafas bebas. Ku keluarkan beban pikirku yang memberatkan. Mencoba tenang dengan menghirup udara dalam-dalam, menghilangkan keletihan badan yang terus melekat pada tulang-tulang dan persendian.
Sejalan dengan detik yang tak pernah berhenti berputar di lingkar waktu yang abadi, tiba saatnya momen yang sanggup mengkokohkan batu-bata keberanianku. Tapi, sesekali nyaliku menciut lantaran getaran nadi-nadi dalam jantungku bekerja ekstra mengalirkan darah, urat-urat yang kuat pada telapak kaki serasa terbakar api ketakutan yang merasuk hingga ke tulang betis dan tulang keringku yang hingga kini menegakkan tubuhku. Pelan-pelan kurebahkan badan ini di atas tempat duduk yang berada di depan satu meja yang kulihat beberapa tumpuk berkas yang tengah dibaca seseorang berkacamata seraya menyeruput secangkir kopi hangat.
Dibacanya sekitar dua tiga menit paragraf tulisanku yang mengekspresikan keinginan agar bisa terbang ke London, merasakan nikmatnya menimba ilmu di negeri bertanah kapur itu. Sesaat setelah itu, beliau memandangku lekat-lekat. Lantas menatap plafon ruang di gedung bertingkat yang berhiaskan beberapa lampu neon berjajar rapi di atap putih halus itu.
Aku hanya diam melihat beliau yang bertingkah semaunya. Tiba-tiba suaranya yang serak menggaung di telingaku. “Pramesti Hamida Alsyifa. Luar biasa. Esaimu ini runtut, padat, berisi serta tajam dalam mengekspresikan setiap keinginanmu yang besar itu.”
Sejenak keadaan diam, ruangan hampa tanpa suara. Perasaanku sedikit tersanjung dengan ucapan pria paruhbaya itu. Namun secara mendadak, timbul suasana hati yang agak gelisah sesaat beliau mengeluarkan nada ragu dari bibirnya. “Tapi sayang, ada sedikit keganjalan dalam esai ini yang patut dipertanyakan.”
Aku tersentak. Penuh daya aku meluapkan anganku untuk berkhayal ke London dan aku merasa tak ada keganjalan sedikitpun. Semuanya kutulis dengan kejelian otakku yang terus bekerja dengan kemampuan hingga pentium empat. Aku selalu meneliti setiap kata yang kutulis, berfikir agar rangkaian kataku terdengar indah seindah rangkaian kata tulisan Khalil Gibran. Merapikan runtutan kalimat yang rapi dengan kuatnya dasar pemikiran seperti runtutan kalimat demi kalimat dalam tulisan Habiburrahman El Shirazy yang begitu ekstensif. Menajamkan gambaran saban kata agar mampu membangun visualisasi dalam pikiran pembaca selayak karangan non fiksi Andrea Hirata yang sarat dengan ketelitian kata pelukisan ekspresi.
Sementara itu, kulirik sedikit papan nama berdasar warna hitam bertuliskan Dr. H. Abdullah Syahrial, M.Si. tergletak di atas meja. Penampilannya bersahaja dengan paras yang teduh nan sejuk itu. Dari suasana diam yang tercipta cukup lama, akhirnya terdengar juga perkataan beliau yang menemukan titik kelemahan dari esaiku yang terbentang dalam bahasa inggris itu. “Di tulisanmu ini kamu menyebutkan, bahwa kamu ingin merasakan keramahan kaum muslim di London. Kamu juga ingin mengembangkan potensi Islam di sana. Sedangkan kamu tahu sendiri, Islam bisa disebut kaum minoritas. Begitu juga di London, muslim di kota itu cukup sedikit. Kalau kamu ingin merasakan kenikmatan Islam yang lebih maksimal, mengapa kamu tidak saja melanjutka kuliah ke Mesir, Malaysia ataupun negara timur tengah yang mempunyai banyak Universitas berkualitas dunia. Warga muslim di sana juga cukup dominan?”.
Pernyataannya cukup menyudutkanku. Pernyataannya pula membuat otakku terpenjara. Namun, perlahan bibirku mengajak berterus terang sesuai uraian pikiran yang telah memaparkan sesuatu yang ingin ku katakan. “Mengembangkan potensi Islam itu tidak mengharuskan sanggup direalisasikan di area atau Negara yang mayoritas Islam. Kalaupun di London tidak dominan masyarakat muslimnya, niat saya ini tidak akan surut memperjuangkan agama saya. Agama yang selama ini dilihat sebelah mata oleh orang-orang non-muslim.
Anda tentu masih ingat kejadian yang sudah cukup lama beredar, Islam diinjak-injak oleh film pendek buatan politisi Belanda di suatu situs internet. Saya pribadi sebagai muslim merasa sangat sakit hati. Islam sering dikait-kaitkan dengan teroris.” Aku terdiam spontan setelah berbicara panjang lebar.
“Maka dengan ambisiku ini, Insya Allah aku akan berusaha menolong Islam di London, meski hasil usahaku nanti mungkin tak akan besar, tak akan menghapus sepenuhnya pikiran negatif orang-orang non-muslim sedunia tentang Islam.” Lanjutku berbicara seraya melihat keseriusannya mendengarkan ucapanku.
“Tapi niat kamu tidak segenapnya bukan karena masalah itu kan?”. Pria itu berusaha menjebak.
“Tentu saja bukan karena itu, kita hidup tidak hanya untuk memenuhi tuntutan akhirat. Namun juga untuk dunia. Keduanya harus dijalankan dengan seimbang. Mengejar pendidikan emas di London, sekaligus menambah keimanan diri pada-Nya. Apalagi London adalah kota yang indah. Inggris seperti istana Eropa. Dengan itu pula, seyogyanya menjadikan hati kita terus bertaut pada rasa syukur yang luar biasa pada Yang Maha Sempurna, Allah azza wa jalla yang telah menciptakan otak berlian pada kaum bangsawan sana, kaum bangsawan dengan segala kekayaan potensi membangun arsitektur megah nan elok di tiap sudut kota London. Subhanallah, Allah lah Yang Maha Hebat, Allah jualah yang menjadi dalang kepandaian sumber daya manusia di sana dan juga menjadi kreator hebat pada alam Inggris yang mempesona.” Suasana tiba-tiba jadi hening. Beliau tersenyum tipis melihat mataku yang nampak tergenang air mata keharuan yang mendadak menjamah hatiku.
“Baik, Mungkin itu saja yang bisa saya gali dari kamu,”
Kata-kata itu terakhir ku dengar darinya. Kesahajaannya ku lihat terus melekat di seluruh lekuk wajahnya yang tak lagi muda. Isyarat pun diberikannya padaku menandai berakhirnya sesi wawancara ini.

Satu bulan kemudian…
Sebuah surat bersampul coklat muda tergletak di bawah pintu rumahku yang sepi sepertinya tak berpenghuni. Dengan membenarkan jilbab, aku lekas meraih satu bendel surat tebal itu. Ku buka dengan perlahan diiringi detak jantungku yang kian berdebar cepat diikuti desiran tangan yang penuh kekuatan. Setiap kata yang menyatu dalam kalimat ku baca dengan jelinya setengah mati. Kuserapi makna tiap paragraf dengan sarat konsentrasi.
Bibirku sejalan melengkung sembari terasa getaran hebat dari kedua tanganku yang tiba-tiba dingin diiringi aliran air mata kebahagiaan. Tak kuduga sebelumnya, sepucuk surat yang tengah digenggaman ini berisi pemberitahuan soal beasiswa berharga itu.. Ku baca berulangkali, kulihat dengan teliti urutan sepuluh nama yang berhasil menancapkan impian emasnya di atap luas Inggris Raya.
Nafasku cepat, aliran darahku bagai dikejar setan. Tak tahan suhu tubuhku naik tinggi. Spontan kegembiraanku kuluapkan sesaat setelah namaku jelas ku dengar dari bibirku sendiri. “Pramesti Hamida Alsyifa…, selamat!!! anda berhasil menjadi mahasiswi di Universitas London (London of University). Dimohon kehadirannya…….” Belum sempat kubaca semuanya, teriakanku mendadak lepas dari genggaman lidah dengan suara lantang menyudut dan mengudara di saban telinga mendengar. Sesosok anak kecil bersepeda roda tiga tertawa cekikikan melihatku tersenyum lebar. Sebuah mobil hampir berhenti kala melihatku melonjak-lonjak layaknya anak gadis yang tengah gila.
Lantas, mobil itu kembali melaju saat ku diam dari tingkahku yang aneh. Senyum simpulku ku persembahkan pada penumpang mobil itu sambil terus menggenggam surat penghantarku untuk terbang ke Negara sepak bola itu.
Entah bagaimana ku bisa meluapkan kegiranganku tiada tara ini. “LONDON…I’M COMING…!!!” Hanya ucapan keras ini ku bisa bergejolak riang menerima satu paket hadiah kehidupan yang benar-benar ku tak menyangka. Tak sia-sia do’a demi do’a ku lantunkan sepanjang satu bulan terakhir ini. Kesabaran dan keyakinan besar telah membuahkan nyanyian hati yang penuh bunga-bunga harapan, dan harapan ini akan terus mengembang di sepanjang jejak kehidupan berjalan.

Tidak ada komentar: