cari yukkk....

Jumat, 06 Mei 2011

cerpen_DESEMBER

BISMILLAH….
15 desember 2010. 13.26, di mushala FIS UNESA
“Di sebuah persimpangan…"
Hujan di siang ini memang sudah reda. Tapi ajinya masih membuat keadaan di perempatan jalan tepat dimana aku sekarang berada, tengah macet total. Mobilku kaku terdiam tak mampu bergerak sedikitpun. Sungguh malang diriku.
Di sini, sesaat memori otakku membukakan satu peristiwa silam yang begitu menyakitkan. Benar-benar menyakitkan. Suasana di persimpangan seperti ini telah mengingatkanku pada runtuhnya pondasi kepecayaanku pada calon suami yang sudah sangat ku kenal. Hatiku tercabik-cabik bagaikan daging segar yang masih menjadi santapan harimau Sumatra di kebun binatang. Perih rasanya, sampai-sampai air mata yang susah untuk keluar dari mataku terpaksa menetes deras seperti banjir kiriman jakarta dari puncak bogor.
Singkat cerita, Kala itu aku sungguh semangat menemani adikku untuk membeli buku ke sebuah toko buku terbesar di Surabaya. Adik dengan lihainya menyetir mobil yang baru ayah beli. Adik memang masih baru belajar, tapi kehebatannya patut diacungi jempol. Dia cerdik dalam menyiasati kemacetan dengan mampu menyari-nyari celah jalan yang mudah untuk dimanfaatkan. Namun dalam benakku tetap saja bersemayam rasa takut yang luar biasa ketika adik sedikit kehilangan kendali saat menyalip mobil pickup hitam yang mengangkut beberapa bahan bangunan. Lantas, saat hujan rintik-rintik yang kemudian berlanjut dengan petir menyambar disertai angin yang cukup kencang membuat kita harus berhenti mendadak di depan sebuah minimarket yang logonya kental dengan gambar lebah. Sekitar lima menit berlalu, aku pun menggantikan untuk menyetir. Adik berdalih sudah lelah dan takut akan jalanan yang mulai licin. Akhirnya di tengah perjalanan, aku dan adik harus terhenti lagi lantaran macet yang melanda. Aku kebingungan. Adik hanya bisa memaksa untuk cepat-cepat sampai ke tempat tujuan.
Mobilku hanya bisa diam tak mampu bergerak sedikitpun. Mau ku arahkan ke kiri, terhalang oleh satu mobil kijang berwarna merah yang memiliki nasib yang sama dengan mobilku. Jika ke kanan, sebuah sepeda motor matik warna hijau terlihat di depan. Lantas, kekesalanku bertambah ketika lampu merah mulai merona. Ku diamkan tanganku sejenak. Ku lihat adik sebentar, dia sudah terlelap tidur. Nampak sekali raut kantuknya. Ku biarkan dia dengan memandangi kendaraan yang terdampar di depan dan di samping kanan kiri mobilku. Saat ku lirik sepintas mobil xenia berwarna silver yang kacanya sengaja dibuka oleh si pengendaranya, aku terenyak. Wajah si pengendara itu tak asing bagiku. Samar-samar ku tebak, lelaki itu seperti sosok yang satu bulan lagi akan menjadi teman hidupku. Ku tatap dalam-dalam, ternyata benar…dia Arman. Seorang ikhwan yang sudah mengikat hatiku. Pikirku tiba-tiba muncul sebuah tanda tanya yang besar. Dia mau kemana dengan mobil elok itu?. Tak lama, nampak seorang perempuan berkacamata di sampingnya. Ku mencoba mencari celah agar jelas menyelidiki apa yang sebetulnya terjadi pada calon suamiku itu. Ku melihatnya tanpa satu kedipan, ingin mengetahui sinya-sinyal aneh yang mungkin ku tangkap dari gerak-gerik keduanya. Mereka lama ku perhatikan, tapi tak dapat sedikitpun sinyal-sinyal yang ku maksud. Hanya ku lihat Arman mengasihkan handphone ke perempuan itu dengan sikap yang biasa. Terlihat biasa, tapi aku semakin penasaran. Siapa sebenarnya perempuan cantik itu?.
Setelah kejadian aneh itu, Arman tak lagi menanyakan perkembangan persiapan pernikahan kita. Telepon genggamku hanya diam tak sekalipun terdengar suara tanda pesan darinya. Jiwaku sunyi jika keadaan terus seperti ini. Peristiwa tak lazim di persimpangan jalan kala itu begitu membuat aku terus berpikir dan bertanya-tanya, siapa sebenarnya perempuan cantik yang ada di dalam mobil bersama Arman? Benakku menggaungkan berjuta kemungkinan terburuk yang tak ku inginkan. Rasa cemburu tiba-tiba memenuhi otakku yang berlanjut pada hatiku yang kian sempit dari rasa ikhlas atas apa yang akan terjadi nanti.
Dua hari selepas itu, ayah nampak marah sesaat setelah menerima telpon dari seseorang. Aku mendengar suara ayah yang keras dari balik pintu kamar. Satu sms langsung mendarat di nomerku.
kak, kluar sana!!!
Ayah marah2 gr2
dpt telpn dr bang Arman.
aku terperanjat membaca sms itu. Tak banyak basa-basi, aku pun langsung keluar kamar dan menemui ayah. “Ayah, ada apa ?” suaraku pelan lantaran masih dihinggapi gemetar yang luar biasa. “APA KAU SUDAH MATANG-MATANG MEMUTUSKAN INGIN MENIKAH DENGAN LELAKI TAK BERTANGGUNG JAWAB ITU. HAH !!!!” teriak ayah sangat keras hingga membuat mataku meneteskan air mata. Hatiku sudah bisa membaca pikiran ayah.
“Maksud ayah apa?”
“Benar-benar kurang ajar anak itu.......” gerutu ayah sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Ayah, apa yang sebenarnya terjadi?”
Kulihat pula Ibu semakin terisak dengan tangisannya. Aku tambah yakin dengan perkiraanku tentang pernikahan ini yang kemungkinan akan…gagal !
“Tiba-tiba Arman telpon Ayah. Dan dia dengan mudahnya membatalkan pernikahan denganmu.”
Wajahku terpaku mendengar ucapan ayah. Serasa tersambar petir aku waktu itu. Terkejut bukan main. Bibirku termangu tak mampu mengutarakan apapun. Otakku penuh dengan isakan kesedihan. Dan hatiku, berteriak tak karuan. Aku benci dengan keadaan seperti ini. Arman telah merusak sebentuk kebahagiaan yang sudah terlanjur tebangun di istana jiwaku dan jiwa keluargaku. Dia pun telah menghancurkan rencana indah keluargaku tentang pernikahan ini, pernikahan yang sejatinya sebagai bentuk ibadah. Aku hanya diam seribu bahasa dan aliran air mata ini sekedar menjadi pelampiasan pedih yang sudah tergambar jelas di tiap lekuk wajahku. Ku lihat ayah langsung pergi setelah itu. Dan Ibu, beliau juga sepertiku. Naluri seorang perempuan memang terlukis seperti ini, hanya bisa menangis dan menangis.
Astaghfrullah, aku sampai tak sadar kalau lampu hijau sudah menyala cukup lama, pantas saja klakson mobil belakang berkali-kali terdengar memekakkan telingaku. Akhirnya, mobil yang ku kendarai saat ini melaju juga meski tubuhku masih kaku.
Di persimpangan itu, telah membuka kembali luka lamaku yang masih belum kering. Udara keikhlasan masih terlalu sibuk untuk menyejukkan hatiku. Dia masih berpaling dari beningnya suara nurani. Jujur, aku memang masih terluka. Kerap suasana macet di persimpangan Kota Surabaya membuat luka itu kembali menganga dengan perihnya yang hebat. Seperti teriris belati yang tajam. Tempat yang selalu ku hindari karena ku benci adalah persimpangan jalan dengan macet yang membuatku harus terdiam dan lagi-lagi harus teringat momen pahit itu. Apalagi dengan ditambah rintikan hujan yang besar. Wah….entah bagaimana jadinya sebentuk hatiku yang mulai rapuh itu.
Alhamdulillah ….
Gresik… 22 Januari 2011. 11.36

Tidak ada komentar: