cari yukkk....

Jumat, 06 Mei 2011

cerpen_NOVEMBER

15 nov 2010
Bismillah…
Di Sebuah Senja....

Anugrah yang terindah…
Yang kini ku anggap…
Satu mulai semua hidup yang baru……

Tepuk tangan pun terdengar menggema di aula pertemuan salah satu SMA swasta elit di kota Bandung setelah lagu terakhir berkumandang dari grup nasyid “fathir Voice”. Hampir semua wajah anggota nasyid tersebut memerah malu-malu. Lantas, sebuah suara berat membawa kelima punggawa dakwah di SMA Negeri 2 Bandung itu kembali ke tempat duduk di bagian belakang.
Setelah mereka duduk, lima kotak makan siang tiba-tiba menghampiri, muka Sigit nampak semangat isyarat perutnya sedari tadi berdendang ria ingin dijamah oleh sesuap makanan sekali pun.
“Mangga(1)… dimakan nasinya…!!!” ujar salah seorang panitia ikhwan dengan senyum mengembang ketika menyuguhkan beberapa kotak nasi dan bingkisan.
“Ooohh…hatur nuhun(2) ya akhi..” balas Sigit dengan riangnya.
“sama-sama…”
Mereka pun tak perlu banyak basa-basi untuk menyantap rezeki di siang bolong seperti ini. Apalagi Sigit, lekuk senyumnya semakin lebar ketika yang terlihat di kubangan kotak nasi berwarna putih ialah ayam panggang. Selang beberapa detik, handphone Erfan bergetar hingga suaranya terdengar beberapa rekan di sebelahnya. Erfan pun mengambil benda kecil itu di tas ranselnya. Tulisan “abi” di layar HP-nya spontan membuat perasaanya tumbuh sejuta akar pertanyaan.
“ Hallo Assalamualaikum…”
“ Wa alaikum salam. Erfan, bisa pulang agak cepat ?”
“ Ada apa yah ?”
“ Sudahlah, lakukan apa yang ayah suruh. Ayah mohon…tut…tut…tut….”
Tak lama suara ayah di seberang sana menghilang. Pesan urgent tadi malah membuatnya semakin terjerat pada zona aman untuk terus menebak. Tapi untuk kali ini Erfan tak sekali pun bernafsu main tebak-tebakan.
Akhirnya, ia pun meminta izin kepada keempat temannya yang masih asyik menikmati makanan. “ Lho Fan, ini nasinya nggak kamu bawa aja pulang ?”
‘ nggak, kamu kasihkan bang Dadang aja… atau… ke pak Ruri!!! ah, tafadhol kalian aja deh. Afwan, ane nggak ikut rapat, ada pesan urgent dari ayah….!! Assalamualaikum…”
“ Wa alaikum salam..” balas mereka serentak sambil melihat langkah Erfan yang tergopoh-gopoh.
“ Kenapa tuch Erfan, kayaknya ada kepentingan mendadak”
“ Husnudzon aja, siapa tahu dia dibelikan ayahnya rumah baru “ celetuk Araz menimpali prasangka Reza.
“ Amin Ya Robb…” koor terdengar pelan dari mulut ketiga pemuda(Araz, Reza, dan Furqan) yang masih basah oleh air minum terkecuali Sigit. Ia tengah sibuk dengan tulang belulang yang masih tebal terbalut daging ayam. Bibirnya memerah karena sambalnya terlalu pedas untuk ukuran dia.
***
Erfan deg-deg’an ketika kakinya memasuki rumahnya. Tak nampak siapa pun, hanya suara TV yang terdengar menggema membuatnya ingin mengambil posisi duduk di depan TV yang keberadaanya ada di ruang tengah. Namun, langkahnya terhenti kala suara lembut menyapanya. Jabat tangan pun ia ulurkan khusus untuk wanita sholehah di depannya.
“ Lagi nunggu ayah ya..?”
“ Iya Bu. Beliaunya sudah pulang”
“ Sudah, tapi masih sholat.. tunggu aja di depan TV “
Perasaan Erfan kian tak mampu menahan untuk menyimpan segudang tanya ini. Ia pun tak ingin berlarut-larut terjebak dalam keadaan seperti ini. Suara TV yang membahana ia manfaatkan untuk melepas perasaan aneh itu. Tak berselang lama saat konsentrasinya memusat ke layar monitor televisi, tubuh ayahnya tiba-tiba mendekati dirinya.
Suaranya yang besar membuatnya nampak gemetar. Entah apa yang terjadi kali ini. Ia juga merasa tak mengerti.

Tanpa berceloteh ngalor-ngidul, perkataan ayahnya to the point. Kalimat terakhir yang diucapkan benar-benar membuatnya tak berkutik. Erfan terdiam seraya menunduk sedih.
“……..ya…kita harus pindah ke Jakarta...”
Lantas, kedua pasang anak dan bapak itu terpenjara dalam keheningan siang, meski suara salah bersatu program berita di TV tetap berkoar. Akhirnya pertanyaan pria paruh baya itu memecah suasana sunyi itu, “Tidak apa-apa kan nak, kita pindah?”
Erfan hanya termangu bingung. Ia tak berdaya untuk menolak keputusan ayahnya yang ada kaitannya dengan masa depannya nanti. Anggukan pelan terpaksa ia lakukan walau berat rasanya hati ini mengorganisir kepala untuk mengiyakan itu. “Berat sungguh....”rintihan batinnya. Beberapa menit setelah itu, kakinya ia gerakkan untuk meninggalkan ruangan yang tiba-tiba senyap dan menggerahkan jiwa.
Pria berkacamata itu hanya bisa memandangi Erfan yang spontan pergi dengan memperlihatkan wajah melan kholisnya. Beliau sebenarnya tak tega jika harus mengorbankan keluarganya berbondong-bondong pindah demi pekerjaan yang bersemayam di pundaknya.
Di dalam kamar, Erfan terjerembab dalam lamunan. Konflik batin membuat wajahnya kusut. Selain itu, kepalanya pun mulai terasa pening, meski hal seperti ini hampir tak pernah melandanya. Langit-langit kamar entah kenapa menari-nari sendiri di depan pelupuk matanya. Pandangannya kabur dan tubuhnya spontan terjatuh ke tempat tidurnya. Erfan masih sadar, walaupun badannya tak berdaya untuk bangkit. Pikirnya tetap memusat pada perkataan ayahnya yang hampir membuatnya pinsan. Ia pun tak mengerti entah mengapa hal demikian menjadikan kondisi jiwanya yang semakin tak terkendali. Otaknya tiba-tiba memutar rekaman singkat hasil analisanya tentang fakta yang kemungkinan terjadi jika ia sekeluarga jadi pindah ke Jakarta dan meninggalkan seluruh kenangan yang tergores di kota parahyangan Bandung. Mungkin, teman-teman satu kelasnya akan sering bertanya, “Kenapa pindah Fan?, nggak rugi ninggalin kita-kita?? Kan SMA tinggal setahun doank Fan?....”
Atau mungkin, rekan-rekan seperjuangan di Rohis terkejut harus kehilangan salah satu punggawa dakwahnya. Dan mungkin, dirinya akan menangisi sisa-sisa kenangan selama perjalanannya menjadi orang terpenting di tim nasyid andalan Rohis SMAN 2 Bandung, Fathir Voice pun mungkin harus mencari sosok yang akan menggantikannya, mungkin....
Kepalanya tambah pusing. Tubuhnya gemetar, tak mampu menahan gejolak hatinya yang membuat otaknya terpaksa memikirkan hal-hal yang kian amburadul jika dihiraukan.
Ini mungkin terlihat terlalu berlebihan, atau mungkin nampak dramatis, toh hanya pindah ke kota metropolitan seperti Jakarta. Tidak separah dengan kehilangan sebuah nyawa manusia. Namun, di balik wajahnya yang tegar tersembunyi naluri yang lemah ketika menghadapi hal sepele seperti ini, harus siap memiliki lingkungan baru yang mungkin bisa ia ikuti atau bahkan tidak sama sekali. Entahlah...
Setelah perang batin yang menggoyahkan ketahanan tubuhnya, matanya tak sanggup menahan kokohnya kelopak yang sedikit basah oleh air rindu pada beberapa teman-teman SMA-nya sesama aktivis dakwah. Ia benar-benar begitu lemah.
Sekitar satu jam Erfan tertidur pulas bersama seragam batik birunya. Ia tak menyadari sama sekali. Dengan tubuh yang masih lunglai dan mata yang tetap memerah, ia bangkit dan melangkah ke kamar mandi untuk membasahi beberapa bagian tubuhnya sesuai rukun syah wudlu. Dengan hentak kaki yang pelan, dari kejauhan pandangan ibunya terus merekam bagaimana lekuk bibir Erfan yang nampaknya sukar untuk melengkung. Beliau membiarkan anak muda itu diam beberapa jam hari ini. Esoknya, baru ia dekati dengan segudang kata-kata bijak yang siap untuk ditancapkan di hati anandanya yang sangat ia dambakan. Dan keputusan pindah rumah tetap goal meski Erfan terlihat tak setuju.
***
Di sekolah, Erfan terlihat tenang. Matanya yang merah sudah nampak pudar. Terdengar namanya mengudara di salah satu lorong sekolahnya tepat berada di lantai dasar.
“Fan, ini file contoh proposal acara mabit tahun lalu. Mungkin setelah ini kamu bisa mengkopinya. Di folder organisasi, buka saja...kemudian ada file proposal mabit, nah itu?” ujar perempuan salah satu teman Rohisnya yang baru-baru ini memakai kerudung lebar sambil menyerahkan flashdisk berwarna hitam.
“oh ya...sukron” tanggapnya dengan arah pandangan ke bawah.
Perempuan tadi pun pergi sesudah membalas ucapan terima kasihnya. Di posisi yang sama, Erfan kembali terdiam. Dia baru saja ingat satu lagi amanah di kegiatan Rohis yang akan diadakan satu bulan ke depan. Jabatan sekretaris telah menumpu di pundak kurusnya. Lantas, bagaimana kelanjutan kinerjananya jika dalam satu minggu ini, ia dan sekeluarga akan menyiapkan segala hal yang berurusan dengan kepindahannya ke Jakarta ?.
“Gawat...ini gimana jadinya ?” ucapnya sembari menampakkan wajah gelisah.
Tak lama, Araz dan Reza datang mengagetkan Erfan yang berdiri terpaku sedari tadi dengan memegang sebuah benda kecil berisi data-data penting milik teman akhwatnya tadi.
Suara keras memanggil nama Erfan tak ayal membuat beberapa siswa di sekitar tempat itu melihat dengan sorot mata aneh.
“kamu kok ngelamun Fan, lagi mikiran apa aja sih ?”
“Belum ngerjain tugas Fisika ?”timpal Araz menyambung guyonan Reza.
“oh...nggak. Aku, aku...”
“Kamu kenapa to Fan?” celetuk Reza melihat Erfan yang agak aneh pagi ini.
Nampak lama Erfan diam dengan menatap pohon-pohon mangga di depannya. Dan kedua ikhwan itu hanya bisa melihat lelaki kurus di depannya dengan paras bertanyaa-tanya.
Lantas, dengan suara tak setegas biasanya, Erfan berkata sesuatu yang membuat Araz dan Reza penasaran.
***
Ketika suasana langit sudah menampakkan senjanya yang begitu indah dan sinar matahari yang mulai meredup akan waktu petang yang telah menantinya. Hampir seluruh murid SMAN 2 Bandung keluar dari kelas masing-masing setelah suara bel pertanda pelajaran hari ini sudah rampung, begitu halnya dengan Araz dan Reza. Kedua pemuda yang sama-sama berjenggot tipis itu telah nangkring dengan santainya di kantin yang sedari tadi menunggu Erfan untuk mengatakan sesuatu. Hal-hal lucu sudah memenuhi pikiran keduanya, Araz dengan asyik bermain dengan alam khayalnya yang berupa perkiraan bahwa dirinya dengan Reza akan dapat traktiran spesial entah itu di kantin ini atau di suatu rumah makan yang wah....??? entahlah. Pikir Araz dengan gaya nyengirnya. Lain hal yang terjadi di dunia imajenasi Reza, malah dalam otaknya sudah terbangun menara dugaan yang sulit untuk dipercaya, “Mungkin...si Erfan akan berkata jujur kalau dirinya sudah berniat mengkhitbah(3) adiknya... “. Hanya sebatas itu hatinya berucap, kemudian tiba-tiba muncul kembali ingatannya perihal guyonan Erfan saat memuji keelokan wajah adiknya beberapa bulan yang lalu ketika Erfan berkunjung ke kediamannya. Tapi itu hal yang tak mungkin untuk keadaan seperti ini. Cengengesan hanya terlukis dari lekuk bibir Reza.
Tak berselang lama, Erfan datang bersamaan dengan Sigit dan Furqon. Kemudian kelimanya duduk melingkar menghadap satu meja berwarna putih yang disitu terdapat satu botol caos dan kecap, satu mangkuk kecil yang penuh dengan sambel serta satu wadah tempat tusuk gigi.
“Mak jah!!! Enam bakso dan enam es teh ya...”teriak Erfan saat dirinya tiba di kerumunan siswa yang terkenal sebagai punggawa nasyid SMA N 2 Bandung itu.
“Tuh kan, bener apa yang ku duga. Kita semua ditraktir...”seloroh Araz membuat semuanya tertawa dengan lepas. Namun, Erfan hanya tersenyum melihat semua wajah kelima sahabatnya yang cerah dengan suara tawa yang renyah. Hatinya merasa tak mampu membayangkan bagaimana raut muka saban lelaki yang ada di hadapannya ketika sesaat ucapan perpisahan keluar dari mulutnya. Pasti air muka mereka akan berubah drastis. Hingga dia sengaja membawa dirinya tertawa sepuas-puasnya sampai kubangan bakso di mangkoknya habis dan hanya menyisakan dua alat distribusi makanan ke lubang mulut, alias sendok dan garbu. Begitu juga halnya yang terungkap dari lima orang hanif itu. Dan kini tinggal nasib es teh yang tak semua berhasil terteguk ke seluruh tenggorokan laskar fathir voice.
Setelah cukup lama Erfan berusaha menahan sesuatu yang akan diutarakannya siang ini, akhirnya untaian kata bernuansa sedih itu terucap juga. ”Oiya....ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepada kalian semua”, tiba-tiba semua mata tertuju pada Erfan dan serentak suara teredam dengan perkataannya.
“Besok, hari minggu...aku beserta keluargaku akan pindah ke Jakarta”
Spontan wajah Sigit, Araz, Reza, dan Furqan tertegun. Mata mereka tak berkedip sama sekali. Tubuh mereka pun nampak kaku.
“Pindah ke Jakarta Fan?”celetuk Furqan terkejut.
“Emmm...iya...!!! mungkin ini kabar buruk yang sebetulnya aku juga tak berharap demikian. Ini keputusan yang sangat sulit untuk aku terima. Sulit sekali. Kalian tahu... yang membuat berat untuk pindah, adalah kalian. Berat untuk meninggalkan kalian.”
Tiba-tiba Erfan terdiam, lantas tertunduk. Air mata Araz tak dinyana keluar juga. Dia langsung memeluk Erfan yang kebetulan duduk di sampingnya. Sigit hanya menatap Erfan yang keberadaannya agak jauh dengannya. Wajah Furqan hanya memelas kemudian telapak tangannya menepuk pundak Erfan yang saat itu mencoba untuk tegar. Sementara itu, Reza menahan tangisnya dengan membasuhkan kedua telapak tangannya ke mukanya. Sungguh terasa sakit dari apa yang dirasakan keenam remaja alim itu.
Araz benar-benar cengeng kala itu. Ia tak mampu menghentikan genangan air mata yang terus-terusan memenuhi kelopak matanya. Ia sungguh lemah sejak ucapan Erfan sengaja terucap.
Semuanya terdiam. Hanya suara parau sambil memanggil-manggil nama Erfan terdengar dari bibir Araz. Nampak hanya dia yang teramat sangat kehilangan. Namun semuanya sama-sama kehilangan Erfan yang juga banyak andil dalam dakwah di SMAN 2 dan keberhasilan tim nasyid Fathir Voice yang saat ini masih tetap eksis di wilayah Bandung. Nama grup nasyid Fathir kian mengudara karena loyalitas Erfan juga dan rekan-rekan lainnya. “ Ini benar-benar sulit untuk dimengerti.” Desah batin seorang Araz. Ia memang cukup dekat dengan Erfan, pantas saja ia sangat terpukul dengan berita ini.
Erfan menjadi merasa bersalah akan ucapan yang baru mereka dengar dari mulutnya. Entah kesalahan dari cara menyampaikannya atau isi perkataannya yang susah untuk dipahami kenyataannya.
Senja ini, kelima punggawa fathir voice harus ikhlas melepaskan suara Erfan sebagai vokal utama di saat-saat mereka menjajal kemampuan di depan umum atau pada sesi latihan. Senja yang kelam bagi mereka. Pemandangan langit Senja yang awalnya terlihat cerah dan begitu menarik mata setiap sosok yang memperhatikannya, tiba-tiba tergantikan dengan suasana menakutkan bagi mata yang memandangnya. Senja yang menjadi detik-detik terakhir mereka memandang wajah Erfan. Wajah teduh yang dilengkapi dengan pesona satu lesung pipi kecil jika senyum ia kembangkan. Berat sangat dirasakan kelima lelaki itu. Mungkin hanya air mata hati yang bisa tertetes dari pelupuk jiwa mereka terdalam, dan bukan air dari mata yang tertahan di kelopak mata teguh mereka. Hanya Araz yang tak sanggup menahan kokohnya pertahanan kesedihan itu. Kesedihan akan kehilangan sesosok sahabat terdekat mereka. Sahabat di saat perjuangan dakwah tengah gencar-gencarnya diluncurkan, sahabat di saat suara emas mereka sedang menjadi idola kawula muda pejuang rohis di seluruh sudut kota mode Bandung.
Keteguhan yang nampaknya dibutuhkan oleh semuanya. Keteguhan Erfan untuk rela dan tanpa beban lagi meninggalkan semua kenangan di sekolah yang telah membesarkannya. Keteguhan lima ikhwan tadi yang harus ikhlas melepaskan Erfan untuk berani mengepakkan rona dan warna hidupnya di Jakarta, sekalipun itu kota besar yang tak sedikit tersembunyi terjal akan perjuangan hidup panjang di usia mudanya. Senja ini, perasaan ikhlas yang mau tak mau harus keenam pemuda hanif itu sejukkan dan redamkan di kalbu mereka masing-masing.
Di senja ini...sungguh raib akan kebahagiaan dan berat sungguh untuk menuturkan pada dunia.
25 nov.2010
Alhamdulillah...

Tidak ada komentar: