cari yukkk....

Minggu, 14 Oktober 2012

KARENA “SI ALIF TAK LAGI KECIL”

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”(QS. Ali-Imran: 14)….. Itulah sepenggal ayat Allah yang ku dengar saat Mbak Retno mengisi mentoring pekan ini. Satu ayat ini menggambarkan bahwasanya ada beberapa hal yang menjadi kecintaan manusia pada beberapa hal di atas, salah satu yang menjadi ketertarikan perempuan adalah lelaki…… Secara tersirat, ayat itu ternyata menohok dadaku yang saat ini tengah dilanda virus paling berbahaya untuk didekati. Virus itu benar-benar mampu membuat yang dijangkiti tak tenang, mudah merasakan gundah, bermuka merah ketika terdengar satu nama yang melayang-layang di sela-sela neuron otaknya. Degup jantung begitu terasa seperti dikejar setan kala keadaan membawa perasaan ini bergejolak karena satu rasa yang tak mampu terdefinisikan dengan rapi. “Virus merah jambu”. Virus itulah yang kini mengotori hatiku. Tak pernah ingin sama sekali untuk menjadi salah satu korbannya. Berusaha menolak dan menghindari saat gejala-gejala mulai terasa secara alami membawa tingkah pola ini. Berbagai benteng sudah diusahakan untuk tegap berdiri melawan serangan. Dan semenjak dua bulan inilah perasaanku mulai menunjukkan sinyal-sinyal aneh ketika pendengaran ini tak sengaja menangkap namanya yang mengudara. Kemudian hati menjadi tak tenang, terkadang senang, khawatir, takut, ataupun jadi gugup karenanya. Ya Allah, bagaimana ini??.......... ワフユ ………. Jam dua siang tepat keberadaanku sudah di depan pintu rumah, perasaan girang benar-benar membuncah lantaran bisa mengeluarkan keadaan penat yang luar biasa menjerat tubuh ini. Namun, tiba-tiba suara telepon genggamku yang masih tersimpan di dalam tas ransel bersuara yang menandakan ada satu pesan singkat yang harus ku baca. Tangan ini akhirnya meraih dengan malasnya. Ku baca dengan santai sambil mengeja satu persatu huruf yang beradu dengan cantiknya hingga membentuk satu kalimat panjang. Ternyata, pesan ini berisi undangan syuro’ mendadak. Dalam niat, tak sedikitpun keinginan untuk datang. Sekali-kali ingin melayangkan izin tidak bisa datang, canda’an dalam hati menggoda untuk mengabadikan kemalasan ini mengalahkan semangat yang belum penuh untuk terwujud. Lantas, tubuh kembali merebah di atas sofa ruang tamu seraya memakan camilan yang ada di atas meja. Tapi, perasaan ini ada yang mengganjal. Tanda tanya muncul begitu saja, “siapa yang mengundang ini?”. Ku lihat sms itu sekali lagi. Ternyata dari Alif. Nama ikhwan satu ini membuatku terdiam. Lantas Berpikir selintas, kemalasan ini tiba-tiba berbalik tiga ratus enam puluh derajat menjadi ingin hadir. Keinginan untuk datang spontan menyerbu otakku kemudian memaksa kesemua organ tubuh ini untuk menyegerakan bangkit dari keengganan untuk berangkat. Sejenak apa yang sebenarnya membuatku seperti ini? Kok tiba-tiba berubah semangat seperti ini hanya karena tahu kalau yang mengundang itu si Alif. Apakah perasaan salah ini yang mendasari semangat ini? Astaghfirullah…. Inilah niat yang keliru, niat yang tak menginginkan ridho-Nya, tapi inginkan ridho dari seseorang. Ya Allah, apa yang sebetulnya terjadi pada ku. Perasaan ini tak boleh terus-terusan merajai jiwa ini. Aku masih melamun memikirkan kesalahan yang sudah ku buat. Kesalahan lantaran telah membiarkan hati ini terkotori oleh tamu yang salah masuk kamar. Benar-benar fatal jika ini tak ku indahkan untuk segera dihempaskan dari dada ini. Istighfar berulang kali ku panjatkan untuk melebur dosa yang mungkin bertumpuk menjadi gunungan noda kehidupan yang membebani diri ini. Akhirnya langkahku mengarahkan ke sebuah tempat untuk mengambil aliran air yang membasahi bagian-bagian tubuh dalam hal fardhu dan sunnahnya wudhu. Ku basuh dengan perlahan, merasakan sejuknya air yang dengan ramahnya membuat tubuh ini suci karenanya. Setelahnya, ku raih mushaf yang dari tadi tersimpan di tas ransel. Ku baca dan terus ku baca dengan mengahayati bagaimana luar biasanya efek yang ku tangkap saat bibir ini melafalkan surat cinta-Nya. Paska tiga lembar terselesaikan, perasaan menjadi tenang adanya. Sebuah pencerahan ku peluk dengan hantaran ketenangan yang dialirkan al qur’an pada jiwa yang sudah terkotori oleh rasa ini. Beberapa kali istighfar kembali terucap membuat aliran air mata spontan membasahi kelopakku yang kian berat. Lama ku terdiam pada keadaan ini. Keadaan yang menghanyutkan seluruh kontak rasa yang mengharu layu. Tiba-tiba suara handphone memecahkan bangunan ketenangan yang sengaja ku buat tadi. Ternyata dari mbak Santi. Ku ambil hape yang tergletak di meja kamar. Ku tekan keypad yang akan memberi efek tersambunglah komunikasi jarak jauh. “Halo. Assalamu’alaikum” “Wa’alaikum salam” “lagi dimana dek? Nggak ikut syuro’?” “lagi di rumah mbak. Afwan izin nggak bisa ikut, lagi nggak enak badan….tut…………..tut………………” mendadak sambungan terputus di tengah bibir ini mengungkap. Ku lihat layar hape sudah menunjukkan akhir dari komunikasi dua jaringan yang kali ini tak lagi baik. Ku letakkan benda canggih ini dan kemudian mata ini mengajak tubuhku untuk menyatu dengan kasur yang terasa sebagai surga dunia. ワフユ Bingkisan ini ku lihat ada di atas bangkuku. Ku lihat dengan seksama bentuknya. Terselip satu lembar kertas dengan tersusun rapi. “Apa’an ini?”. Akhirnya ku raih dan ku lihat-lihat dengan seksama. Ku buka tali yang menyatukan satu lembar kertas tadi dengan sebuah barang cantik yang terbungkus dalam kotak kecil. Ku buka bungkusan ini dan ku letakkan surat tadi di atas bangku. Ternyata di dalam kardus kecil yang terbungkus rapi itu adalah sebuah gantungan kunci cantik dengan bentuk bulat yang bertuliskan kata-kata motivasi untuk terus berjuang dalam dunia dakwah. “Keren” ungkapku sambil merekahkan senyuman bahagia. Namun, terselip satu pertanyaan yang mengusik hatiku. Siapa yang memberi ini?? Lantas tanganku meraih satu lembar surat kecil itu. Ku baca dengan perlahan, sang pengirim yang masih samar identitasnya menuliskan : Ku pandangi kata-kata terakhir yang tertulis di pojok kanan bawah pada selembar kertas tadi. Tertulis jelas dengan italic dan dihiasi tanda petik. Hal itu mengingatkanku pada sesuatu. Pada satu moment yang terjadi tiga tahun silam. Dan kondisinya hampir seperti demikian. “Si Alif Tidak Lagi Kecil”….. Nama yang cukup familiar bagiku. Ya, Alif Pramudya Kusuma adalah pria yang bolak balik jadi pengisi hati ini tanpa permisi. Dia juga sempat menjadi duri yang menyakitkan benar. Teringat masa itu sungguh mengecewakan namun ada sedikit penuh kelucuan yang terkadang membuat bibir ini tersenyum. Saat SMP dulu, beliau menjabat di posisi Ketua OSIS yang bisa dibilang jadi artis sekolah. Dengan modal fisik dan intelektual yang punya nilai plus, banyak mata tertuju untuk memujinya. Dialah salah satu bukti kebesaran Allah Azza Wa Jalla dengan kelebihan-kelebihan yang Kak Alif punya. Subhanallah… Dan yang membuat terkesan atas masa lalu itu adalah satu hal, “sempat memiliki hubungan khusus dengan seorang laki-laki yang saat ini menjadi salah satu ikhwan hebat pemenuh dakwah” dan sekarang beliau kembali menjadi pengusik hati. “Mengapa harus dia?”. Kita kembali pada satu sekolah yang sama, tapi itu tak bertahan lama karena beliau harus pergi lagi. Dan itu sama seperti SMP lalu, saat Kak Alif menyatakan cinta pada ku dan kemudian kita berpacaran, selang dua bulan dia harus pindah ke Makasar. Lantas, hubungan itu kandas. Kecewa, itu pasti. Cinta pertama yang tak terawat indah. Namun, baru kali ini aku tersadar bahwa rasa kecewa itu berfaedah karena hubungan itu tak akan membawaku ke arah yang baik. Hubungan yang tak ada dalam agamaku harus terputus, takdir Allah yang sungguh membahagiakan. Sakit dulu, senang saat ini. Alhamdulillah…. Semenjak ini, kesadaranku membuka kenyataan bahwa kak Alif yang selama ini mengganggu ketenangan perasaan ini karena virus merah jambu yang bertamu tanpa izin itu ternyata cinta pertamaku dulu…. Dan memang dahulu, aku masih belum faham bagaimana Islam memandang sebuah pergaulan anak muda. Saat SMP, saat-saat dimana gejolak remaja dipertarungkan dan pencarian jati diri diperjuangkan demi identitas sebagai manusia yang bertambah tingkatan umur dan pengakuan di masyarakat. Sekarang, Kak Alif kembali menjadi kumbang yang terus-terusan mengganggu perasaanku. Bukan dia yang salah, tapi perasaan ini yang salah. Ingat betull bagaimana gambaran suasana saat-saat beliau menyatakan cinta buta itu. Singakatnya… ungkapan cinta diutarakan di depan kelas saat itu. Wajahku memerah, pertanyaan apakah mau jadi pacarnya menjadi pertanyaan menusuk dengan penuh keindahan. Bagaimana tidak, di tengah banyak kawanku yang jua sudah mempunyai pacar masing-masing, kini tinggal aku akan mewujudkannya. Dan jawaban iya ku persembahkan dengan anggukan ringan dariku seraya senyuman manis ku rekahkan dari bibirku yang masih terlihat samar lantaran wajahku tertunduk malu. Hanya kita berdua saat itu, dan aku baru tahu saat di SMA ini semenjak Rohis menjadi pelabuhan hatiku bahwa kalau dua orang manusia berdua-dua’an berbeda jenis kelamin ini akan ada yang ketiganya, yakni syetan. Astaghfirullah… ternyata waktu itu diriku dan Kak Alif sedang dikuasai oleh syetan. Maksiat berhasil mengepung lingakaran hubungan kita. Dan surat seperti yang saat ini ku pegang memiliki bentuk yang sama dengan surat keputusannya untuk mngakhiri jalinan ini kala itu. Kata-kata “SI Alif Tidak Lagi Kecil” tertulis di pojok kertas seperti satu lembar surat yang sekarang masih ada di pegangan. Momen memilukan pada waktu itu membuat jiwaku runtuh, namun momen hari ini….membuatku melan kholis. Entah apa yang saat ini kurasakan, kesedihan tiba-tiba membekukan tubuhku saat membaca tulisan di surat ini. Kak Alif harus pergi lagi. Si Alif tak lagi kecil itu akan meninggalkan semuanya di sini. Meninggalkan amanahnya, meninggalkan kenangannya, meninggalkan suka dukanya. Mungkinkah saat beliau membaca namaku, tak sengaja melihat wajahku, mendengar suaraku saat syuro’, beliau ingat pada seseorang. Akankah beliau masih ingat aku yang dulu jadi teman dekatnya. Akankah beliau tak terusik dengan keberadaanku. Atau, beliau lupa dengan cinta pertama itu. Astaghfirullah… mungkin dia lupa dan semoga tak ingat. Kalaupun ingat dan mengingat-ingat wajahku yang menurutnya tak asing, tak mungkin Kak Alif berbuat sesuatu yang tak pantas jika seorang ketua Rohis bertindak pada cinta pertamanya dulu. Diam dan menjaga hati, itulah pilihan terbaiknya. Kak Alif, dulu kau menjadi spesial bagiku. Dan saat ini… kau tak boleh menjadi spesial sebelum ikatan suci memeluk kita berdua dalam indahnya pernikahan. Perasaan bodoh ini tak boleh terus-terusan memenjara, ini harus segera dimusnahkan. Benteng akan terbangun megah dan kokoh demi lenyapnya rasa percuma itu. Rasa itu akan indah dan bernilai ibadah jika kau resmi jadi suami pertama dan terakhir. Meski engkau cinta pertama ketika SMP, tapi aku tak tahu apakah kau menjadi cinta pertama yang suci untuk menyempurnakan separoh agamaku. Hanya Allah Yang Maha Tahu yang akan tahu siapa pun itu, Kak Alif atau yang lain. Entahlah…… Dan “Si Alif tak lagi kecil”….. kau tak boleh lama-lama ada di hati ini kalau belum sah bagiku. Secepatnya harus keluar dengan kebersihan hati yang terbangun karena indahnya iman pada-Nya. ワフユ

Tidak ada komentar: